Senin, 03 Oktober 2011

Pohon



Pengendali itu hati, dan perasa adalah mata. Ibuku berkata, dimanapun aku membawa jiwa raga, kebaikan hati ditanam di tempat dimana kasih berada, di antara cinta tanpa syarat. Di kotak pertama pohon itu telah kupelihara, dahan-dahan telah kokoh menopang akar kenangan dan sayangku padanya. Setelah ia besar dan mampu berdiri, kutegakan kesetiaan berpindah. Agar masa depan tak dibatasi dinding-dinding yang mengelilingi kotak itu. Kutanam pohon kedua di kotak yang baru, berharap kesucian masih terjaga hingga aku membesarkannya.

Ternyata bertekad melewati batas itu tak semudah cerita yang dikisahkan mereka, menanamnya di tanah kedua jauh berbeda. Jika air dan sinar mentari dahulu sudah memadai, saat ini aku harus menemukan pupuk kebijaksanaan. Bijaksana itu bukan diam ketika harus berbicara atau bersabar ketika ingin murka. Bijaksana itu tahu dimana diriku harus berucap dan menutup rapat.

Hidup terkotakkan dalam pot tanah liat, aku tak ingin alam mengubah jati diri, tak berkehendak kompetisi menghilangkan kebaikan hati. Penuh sesak tanpa kepedulian, renik dan cacing berebut unsur hara, akar tumbuh merambat dengan serabutnya yang bercabang-cabang. Perlahan si pohon belajar, tumbuh menjadi pribadi. Jangan peduli apa dikata mereka, dirimu hanya interpretasi mata. Baiklah, aku akan menjadi pohon, dimana hatiku berkehendak, hanya berharap Tuhan yang menyiramiku dengan bimbinganNya, melindungi daun-daun iman yang di satu masa mungkin tumbuh lebat dan pada musim berikutnya akan rontok ketika dihantam putaran waktu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Polite comment and critic only