Minggu, 10 Mei 2015

Ketika karyawan terpaksa "dirumahkan"


Anak adalah amanah...amanah dari Allah kepada orang tua untuk mendidik, menyayangi, dan melindungi...

Karyawan sama seperti anak...mereka juga adalah amanah...amanah dari Allah kepada pengusaha untuk membantu kesejahteraan hidupnya...menurut pendapat saya...

Salah satu pengalaman pahit dalam menjalankan roda perusahaan adalah ketika saya harus memilih merumahkan karyawan (saya sebut merumahkan) atau tetap mempekerjakan karyawan tapi bengkak secara operasional (akibat inefisiensi).

Parahnya (dan jeleknya), saya ini wirausahawan yang soft hearted alias gampang sedih...sensitif...yaa saya akui saya ini gembeng alias gampang nangis...seharusnya pengusaha itu mentalnya tangguh menurut saya, tapi entah kenapa saya ini susah "menguat-nguatkan hati"

Pengalaman buruk terjadi beberapa waktu yang lalu, akibat klien yang melanggar kesepakatan dengan sejuta dalihnya menujukan semua kesalahan kepada saya, saya harus memilih pilihan yang sangat berat dalam hidup saya. Merumahkan 5 orang karyawan.

Jujur ini adalah salah satu peristiwa yang menguras air mata saya berhari-hari hingga sampai hampir seminggu saya masih nangisi mereka. Bukan salah mereka, bukan juga salah saya. Otomatis setelah klien memutuskan kontrak sepihak, saya harus merumahkan 5 orang tersebut karena saya belum memiliki project baru yang bisa mereka kerjakan. Kalo nggak saya harus bayar pakai apa??? Sementara di kondisi tersebut saya masih memiliki banyak kewajiban yang belum lunas...nelongsolah hati ini sampek sakit batuk nggak sembuh-sembuh.

Karyawan #1 istrinya lagi hamil
Karyawan #2 anaknya satu masih kecil, istrinya nggak kerja, tinggal di desa
Karyawan #3 anaknya masih sekolah di Ponorogo, suaminya nggak mau kerja
Karyawan #4 punya anak 2, udah ibu-ibu cuma nyari tambahan penghasilan, tinggal di kos2an, ga punya rumah
Karyawan #5 single, tapi udah nggak punya ortu, tinggal nunut kakaknya, anaknya rajin pinter pula

Saya mengontrak mereka 3 bulan, tapi baru satu bulan harus putus, dan saya nggak bisa kasih pesangon apa-apa selain kata MAAF dan satu bulan gaji...benar-benar saat itu adalah ujian berat buat saya. Okelah saya rugi dalam bisnis, okelah saya dijelek-jelekkan sama klien, okelah saya jujur nggak nyogok jadi harus terima diperlakukan seperti ini, tapi rasanya saya nggak terima ketika mereka dirumahkan karena hal ini. Akhirnya saya bingung mencarikan mereka pekerjaan, untungnya beberapa dari mereka sudah dapet kerja sebelum hari terakhir bekerja dengan saya...

Kemudian beberapa hari yang lalu, salah satu klien yang saya tangani juga, tidak bisa melanjutkan kerjasama dengan saya karena mereka sedang kesulitan secara finansial. Akhirnya mereka, memutuskan tidak menggunakan karyawan saya lagi. Pada saat memberitahukan hal tersebut (Fahmi bagian ngomong), saya cuma ndlahom lihat si karyawan itu. Karyawan yang akan berhenti kerja ini orangnya baik, nurut, dan rajin (siapa tega memutus harapan orang baik). Baru balik kanan grak dari si klien, di parkiran saya nangis...ya pengusaha cengeng ini ya begini...nangisan...

Kadang saya merasa perasaan saya itu terlalu dalam memikirkan hal seperti ini, karena apa?

Saya merasa, orang-orang seperti mereka ini bayaran lo berapa? Mungkin diatas satu juta tapi masih dibawah UMR. Hidup sekarang sulit, semua serba mahal. Biaya hidup mahal, pendidikan mahal... Orang seperti saya ini kadang berpikir ingin punya rumah layak (bukan tipe 36) aja mikirnya panjaang sekali...bisakah? mampukah saya?? Dengan omset segini, keuntungan segini bisakah?? rasanya kok sudah terseok-seok kerjanya tapi belum mampu beli...

Apalagi orang seperti mereka

Seberapa tinggi orang-orang seperti mereka itu bisa bermimpi, bisa bercita-cita...??? pikir saya....

Saya punya cita-cita muluk untuk hidup saya, anak saya...

Sedangkan orang-orang seperti mereka?

Impian mungkin cuma jadi bunga tidur buat mereka...kerja 8 jam sehari. Skill terbatas. Ekonomi terbatas.

Tega nggak sih memutus harapan orang seperti mereka...?

Mungkin kalo saya ini jadi HRD perusahaan, saya ini sudah dipecat duluan sebelum memecat orang...saya orangnya terlalu mikir dalam dan jauuuh.... itulah kenapa kadang saya ini merasa depresi dalam hidup saya...itu yang dibilang dokter kenapa saya menderita anxiety disorder...saya mencemaskan sesuatu dengan berlebihan...dan kadang hal itu tidak terlalu penting...

Ya...karena bagi saya karyawan itu juga amanah...saya ingin, mereka senang bekerja dengan saya, setia pada saya...dan saya berusaha meningkatkan kesejahteraan mereka...saya pengen hidup mereka enak kalo kerja sama saya, minimal cukuplah untuk kebutuhan hidup...untuk anak, istri mereka...

Tapi kadang hidup tidak bisa selalu ideal seperti yang kita inginkan bukan? Kalo sudah begini, saya cuma bisa berpikir, Allah pasti akan menjamin rejeki mereka selama mereka mau berusaha...karena saya nggak bisa melakukan apa-apa untuk mereka lebih jauh...

Saya percaya rejeki itu sudah dibagi dan diatur oleh Yang Maha Kaya, tapi Dia tidak semerta-merta memberi jika kita hanya berpangku tangan...

Akhirnya wirausahawan yang cengeng ini hanya bisa mendoakan si karyawan...

-xoxo-

Astri Afex


Rabu, 29 April 2015

Anxiety Disorder

Dalam hidup saya dan pemahaman saya akan diri sendiri, saya adalah orang yang sangat memikirkan sesuatu dengan sangat ngat ngat dalam...entah itu permasalahan, kata-kata orang lain yang menurut saya menyakitkan hati, atau pengalaman buruk...

Ketika saya kelas 4 SD, saya pernah mengalami anxiety disorder, alias gangguan kecemasan yang berlebihan terhadap sesuatu. Jika anda tau apa penyebabnya, pasti anda akan bilang saya lebay. Penyebab pertama teman-teman cowok saya yang suka menakut-nakuti saya dengan belalang kedua teguran salah seorang guru yang menurut saya mempermalukan diri saya di depan teman-teman hanya gara-gara saya MAIN PENGGARIS waktu sang guru menjelaskan pelajaran PPKn (padahal saya main sambil mendengarkan pelajaran meski agak-agak melamun).

Akibatnya, selama minggu-minggu berikutnya setiap hari Senin saya selalu sakit dan minta ijin pulang ketika akan dimulai pelajaran PPKn. Jantung saya selalu berdegup kencang, sakit perut, lemas, dan nggak ada gairah ketika harus menghadapi pelajaran PPKn. Saya ini orang ekstrovert sanguinis, tapi anehnya saya ini pemikir dan mudah stress. Entahlah kenapa...

Anxiety disorder adalah gangguan mental dimana penderita memiliki rasa cemas yang berlebihan dan seringkali rasa cemas ini akan melelahkan penderitanya.


Saat ini, saat menulis postingan ini, sejatinya saya sedang browsing dan mempelajari tentang anxiety disorder karena saya mengalami gangguan ini lagi. Entah sejak kapan yang jelas sudah mulai tercetus sejak tahun lalu saat saya mengalami baby blue syndrome pasca melahirkan, pikiran dan kecemasan itu mulai berenang pelan di otak saya. Mungkin saya nggak bisa menuliskan penyebabnya, yang jelas saya mengetahui penyebabnya, saya mulai mengalami anxiety disorder yang ditandai dengan kecemasan berlebihan terhadap sesuatu yang belum terjadi.

Kecemasan itu berberntuk imajinasi tapi saya menganggapnya sebagai potensi buruk. Pemikiran buruk itu terjadi secara berulang-ulang setiap hari semakin kuat dan akhirnya saya sering mengalami deg-degan, pusing, nggak selera makan, kehilangan fokus, emosi tidak stabil, kadang ingin marah tapi nggak bisa, kadang ingin nangis tanpa sebab... ya saya sungguh mencemaskan hal itu setiap harinya, saya tidak ingin hal itu terjadi dalam hidup saya.

Keinginan untuk menghindar dari imajinasi masa depan itu sungguh kuat. Kenapa? karena saya cemas, apabila hal itu terjadi, saya yang akan menderita. Saya sudah puas menderita batin sama afex, saya nggak mau menderita batin karena hal itu. Saya cemas hal itu akan berdampak bagi keluarga, pekerjaan, dan rumah tangga saya. Saya cemas kehilangan orang-orang yang saya cintai. Saya cemas akan terluka. Saya cemas nggak bisa mengaktualisasikan diri. Akhirnya saya begitu membenci hal itu, membenci kecemasan yang belum terjadi. Saya nggak ingin hal itu terjadi dalam hidup saya. Sudah manusiawi setiap orang akan melakukan self defense mechanism terhadap kekurangan atau potensi buruk yang bisa menimpa dirinya.

Ini beberapa yang saya rasakan


Dalam link http://www.kolomsehat.com/3-tanda-utama-gangguan-kecemasan-anxiety/, disebutkan ada beberapa gejala anxiety disorder, dan beberapa saya alami beberapa bulan terakhir :

a. Mudah terpengaruh, ada satu kata yang sangat mengganggu saya jika kata itu disebutkan. Seketika kata itu terdengar, saya sudah berpikiran macam-macam, pikiran negatif tentunya.
b. Terus berpikiran buruk tentang hal yang belum terjadi di masa depan dan saya berusaha melakukan apapun saat ini untuk mencegah hal itu terjadi, atau bersiap siaga apabila hal itu terjadi saya sudah tahu akan melakukan apa.
c. Sering membesar-besarkan masalah alias alay...kadang ada satu masalah yang sepele, menjadi pencetus saya berpikiran aneh-aneh dan disambungkan ke kecemasan yang saya alami...padahal nggak nyambung...

Akhirnya, sering saya mengalami pusing, maag kambuh, jantung berdetak kencang, takut, kehilangan percaya diri....sama seperti yang saya alami ketika kelas 4 SD. Sama persis...hanya melibatkan orang dan masalah yang berbeda.

Buruknya, saya jadi mudah menjustifikasi buruk terhadap sesuatu atau seseorang. Pokoknya gangguan ini cukup melelahkan batin saya. Sumpah...saya sering melamun (padahal banyak kerjaan), pelupa, sering kehilangan fokus, dan jadi sangat melankolis...

Beberapa terapi saya coba mulai dari yang sifatnya spiritual sampai pengobatan medis. Bahkan dokter bilang, bersikaplah sedikit cuek lah mbak...(si dokter bilang saya ini kena depresi). Ya saya ini nggak bisa cuek. Dikatain orang begini, sampe puluhan tahun akan saya kenang. Diomongin apa sama si ini yang agak menohok, sampe ribuan tahun saya ingat. Saya nggak dendam sama yang ngatain, cuma kenangannya sungguh melekat dan susah diabaikan. Ya salah saya sendiri. Yang ngatain udah lupa, kok saya ingat-ingat...iya kan...Jangankan orang lain yang ngata-ngatain saya, ingatan tentang Ibuk saya sendiri yang dulu pernah marahin saya selalu saya ingat. Saya ini juga manusia, banyak salahnya juga, pernah ngatain orang juga...tapi kalo dikatain sama orang, berasa orang paling rendah di dunia.

Dibalik saya yang kelihatannya ndablek, ada sisi jelek yang begitu suram bagi saya. Ya, gangguan ini sampe sekarang masih cukup melelahkan buat saya. Semoga pikiran ini cepat hilang, dan saya bisa membuat masa depan yang berbeda dengan imajinasi itu. Saya pasti bisa menyelesaikan kecemasan ini suatu hari, semoga.




Terima kasih untuk Kalxetin yang menemani hariku, dan suamiku yang pengertian dan begitu pemaaf...


Kamis, 26 Maret 2015

Pajak UMKM 1% dari Omzet : angka sederhana dengan dampak luar biasa


Mumpung mau 31 Maret, pelaporan SPT tahunan sedang jadi topik yang hangat buat para wajib pajak di negeri ini. Terutama buat para pengusaha UMKM yang statusnya masih sebagai perusahaan perseorangan seperti saya.

Sejak Juli 2013, berlaku pengenaan pajak 1% dari omzet sebagaimana yang disebutkan oleh Dirjen Pajak Fuad Rahmany dalam opini yang ditulis Edhi Setiawan dalam kompasiana.com :

Direktur Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) Fuad Rahmany menyatakan akan memberlakukan pajak kepada usaha kecil dan menengah (UKM). Pajak yang dikenakan sebesar satu persen dari total omzet setahun.”Yang punya usaha tetap akan dikenakan pajak penghasilan sebesar satu persen dari omzet,” ucap Fuad saat ditemui di Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin (7/1/2013).

Satu persen, angka yang cukup sederhana, apalagi jika dibandingkan dengan PPN 10% yang saya (dan semua rakyat lainnya) bayar ketika makan di restoran, atau ketika saya beli bahan baku catering di distributor. 1% dari Rp 1.000 hanyalah Rp 10 sedangkan untuk PPN, kita harus mengeluarkan Rp 100. Kelihatan sedikit bukan? Tapi mari kita kaji lebih dalam tentang kebijakan Dirjen Pajak mengenai pemberlakuan pajak 1% dari omzet untuk UMKM.

Omzet adalah seluruh pendapatan kotor dari sebuah perusahaan, catat. Omzet diperoleh dari penjualan barang/jasa perusahaan kepada customer. Setelah dikurangi dengan beban-beban atau biaya operasional lainnya, maka omzet akan menghasilkan laba kotor. Kemudian setelah dikurangi dengan pajak, baru akan menghasilkan laba bersih.

Masalahnya, tidak semua pengusaha UMKM memiliki skala produksi besar dengan margin yang besar pula. Kami sangat sensitif dengan pergerakan harga, mulai dari tarif BBM, TDL, harga bahan baku, upah minimum tenaga kerja. Kebanyakan, pengusaha UMKM mengambil margin yang kecil, kami hanya mengandalkan faktor kali dari produk yang kami jual. Semakin besar kuantitas produk yang dijual, barulah kami bisa menikmati laba yang lumayan.

Sebagai ilustrasi, di usaha catering saya, harga pokok produksi kami berkisar antara 70-80%, artinya sebelum dikurangi dengan biaya operasional (BBM, TDL, PDAM dll), kami memperoleh laba sebelum biaya operasional lain sebesar 30%. Sedangkan untuk biaya operasional bisa berkisar antara 10-15%. Dengan penjualan sebesar 1 juta misalkan, laba bersih sebelum pajak yang kami peroleh berkisar pada angka Rp 200.000 (ekspektasi paling tinggi). Apabila dipotong pajak 1%, kami harus membayar Rp 10.000. Kecilkan? Kecil toh cuma Rp 10.000

Tapi... ada usaha yang memiliki volume kecil dengan margin laba besar, dan ada juga usaha yang memiliki volume besar dengan margin laba yang kecil dan sangat sensitif terhadap nilai uang seperti saya. Disinilah letak ketimpangan kebijakan 1% dari omzet yang diberlakukan oleh pemerintah.

Ilustrasinya adalah, misalkan omzet perusahaan adalah Rp 1.000.000, dia memiliki COGS sebesar 50% dan biaya operasional 15% sehingga margin labanya adalah Rp 350.000 dan perusahaan tersebut harus membayar jumlah yang sama seperti ilustrasi di usaha catering saya di penjelasan sebelumnya yaitu Rp 10.000.

Orang yang margin labanya Rp 350.000 dan Rp 200.000 akan membayar jumlah pajak yang sama yaitu Rp 10.000.

Mungkin ilustrasi saya kelihatan sederhana, tapi bayangkan jika penghasilan saya dan perusahaan pembanding tersebut sama-sama 100 juta setahun, maka dengan laba bersih saya sebesar Rp 20.000.000 saya harus membayar pajak Rp 1.000.000 sedangkan perusahaan pembanding memiliki laba bersih sebelum pajak senilai Rp 35.000.000 dan membayar pajak sebesar yang saya bayarkan.

Levita Supit selaku ketua perhimpunan waralaba dan lisensi Indonesia berkata, sebagaimana yang saya kutip dari kontan.co.id :

pengusaha UMKM yang paling terpukul adalah sektor usaha yang memiliki margin bersih paling kecil. Misalnya, pengusaha ritel yang mengambil margin bersih sekitar 3%-4% dari omzet. Kini, pengusaha golongan ini hanya bisa menikmati margin bersih kurang dari 3% gara-gara pajak memungut 1% dari omzet.

Sebenarnya hal ini tidak menjadi alasan bagi kami pelaku usaha kecil menengah untuk menolak membayarkan pajak sebesar 1% dari omzet. Namun, kami berharap keadilan dan timbal balik atas kewajiban kami dalam membayarkan pajak ke negara. Melanjutkan opini Edhi Setiawan dalam kompasiana.com, bahwa ekspektasi pelaku UMKM sebagai wajib pajak adalah :
  • Menikmati infrastruktur yang baik sehingga biaya menjadi lebih efisien,

  • Mendapatkan pelayanan birokrasi yang ramah dan tidak berbelit-belit (khususnya dalam perijinan usaha dan lain-lain yang memakan biaya dan waktu yang cukup lama)

  • Menikmati  kebijakan yang masuk akal dan memenuhi rasa keadilan masyarakat

  • Yakin terhadap kesungguhan komitmen terhadap pemberantasan korupsi

Yang harus menjadi catatan, kami sebagai pelaku UMKM tidak hanya membayar pajak 1% dari omzet lho, bahkan seperti usaha-usaha warung atau restoran masih dikenakan lagi pajak daerah. 

Usaha mikro kecil menengah adalah sektor yang intensif menyerap tenaga kerja, sehingga berperan serta besar dalam mengurangi angka pengangguran dan meningkatkan perekonomian daerah. Apabila UMKM tidak dapat mengambangkan diri, maka gembar gembor bahwa pemerintah mendukung tumbuhnya UMKM hanyalah omong kosong. Beberapa pengusaha UMKM merasa keberata dengan kebijakan tersebut, bisa dicek di link http://peluangusaha.kontan.co.id/news/pajak-ukm-berlaku-laba-pengusaha-kecil-tegerus.

Akhirnya, opini pribadi saya sendiri, keadilan absolut itu memang tidak akan dan mustahil diperoleh dimana saja karena yang mampu adil hanya Allah SWT. Hanya saja, kami berharap pemerintah bisa membuat kebijakan yang adil dan masuk akal untuk pengusaha UMKM yang selama ini kebanyakan merasa dipersulit untuk berkembang. Bukan karena faktor pajak saja, tapi banyak faktor lainnya yang menghalangi kami untuk mengembangkan usaha.

Jangan hanya sibuk membuat kebijakan remunerasi aja dong untuk pegawai pemerintahan, tuh perhatikan sektor informal dan UMKM. Mereka lo yang terbukti mampu bertahan dalam goncangan perekonomian ketika krisis tahun 1998 dulu. Rakyat kecil juga pelaku roda perekonomian negara, jangan istimewakan kapitalis besar. 

Saya berharap keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia tidak hanya tercantum dalam UUD 1945, tapi juga terlaksana dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tulisan ini sekedar opini dan tulisan orang yang ilmunya masih sangat sempit, yang nggak terima terserah, yang mendukung terserah.

 

Selasa, 03 Maret 2015

Refleksi




Tahun ini...adalah tahun yang dibuka dengan peristiwa yang sangat berat buat saya...bisa dikatakan bencana terbesar buat hidup saya pribadi...ya saya sendiri...nggak menyangkut pautkan keluarga atau keluarga besar meski mereka selalu bersedia support saya apapun keadaannya...

Mengerjakan sebuah project besar yang cost-nya lebih besar daripada benefit yang saya peroleh, beban mental karena kewajiban menumpuk, beban psikis karena saya bertekad harus bisa menyelesaikan kewajiban saya sendiri...all by myself...saya hanya berharap Allah lah yang akan memberikan saya jalan dan rejeki yang barokah tentunya...

Kadang, ketika malam hari, semua sudah tidur...pikiran-pikiran itu seliweran di otak saya, sambil geser2 hape liat sosmed, buka internet, mikir, mlongo...selalu kata yang ada dalam benak saya adalah

Seandainya

Seandainya nggak saya ambil project sialan itu pasti tidur saya lebih nyenyak...
Seandainya nggak saya kerjakan project itu pasti saya bla bla bla....

Nasi sudah jadi bubur, singkong udah jadi lemet...

Semuanya nggak bisa saya kembalikan, waktu nggak bisa diputar... 

Meski kewajiban saya tidak sebesar kewajiban taipan properti...bagi seorang saya yang jarang  punya cicilan sana sini kecuali cicilan kulkas afex...keinginan untuk segera melunasi kewajiban itu sangat kuat...

Setiap hari, saya berusaha menyingkirkan pikiran-pikiran negatif yang memadamkan semangat saya...

Mungkin inilah cara Allah mendidik saya supaya lebih berani dan tegas sebagai pengusaha
Mungkin inilah jalan Allah supaya saya didepannya tidak gampang ditipu orang
Mungkin inilah cara Allah mengingatkan saya supaya lebih bertakwa, karena kalo saya dilenakan dengan kenyamanan, mungkin saya lupa cara bersyukur
Mungkin inilah cara Allah mengabulkan keinginan saya untuk tinggal di Malang, karena kalo saya nggak berusaha sekeras ini untuk AFEX, mungkin saya harus migrasi ke suatu tempat
Mungkin inilah jalan Allah untuk saya supaya bisa pindah sekeluarga ke Ostrali karena diterima di Le Cordon Bleu (ngarep.com)

Dengan cara ini saya merefleksikan semua yang terjadi di hidup saya beberapa bulan terakhir...mungkin saya terlalu ambisius dan serakah, mungkin saya terlalu cepat menyerah dan berprasangka buruk...banyak pertanyaan yang jawabannya harus saya selesaikan sendiri.

Alhamdulillah keluarga saya selalu menyemangati saya...sekaligus teman-teman dan sahabat selalu memberi dukungan moral...terima kasih semuanya...

Overall...meski tahun ini terasa sangat sangat membebani saya...

Every cloud has its silver lining...(kata buku EF)

I put my trust on Allah...