Selasa, 13 November 2012

Pertama, Satu-Satunya, Sekali Seumur Hidup (Gak Penting)


Tulisan kadang menyuarakan isi hati...termasuk tulisan saya kali ini...entah apa dan kenapa saya ingin menuliskan tema ini, yang jelas, beberapa waktu terakhir ini saya sering terusik dengan kehidupan dan segala gengsi yang dipangku oleh manusia-manusianya...Terserah sih seseorang ingin hidup dan memiliki kehidupan seperti apa, dan saya juga punya cara pandang sendiri mengenai hidup saya yang simpel ini...asalkan jangan memaksakan cara dan perspektif mereka untuk mengatur bagaimana saya...

...dan tema keruwetan akhir-akhir ini adalah suara-suara “Menikah itu hanya sekali seumur hidup”

So What?

Nggak ada yang mau menikah dua kali seumur hidup, kalo bisa semua kisah cinta itu berakhir kayak di film the Notebook. Sehidup semati antara Ally dan Noah, sampek mati aja janjian mau mati berdua.

Tema menikah memang sering saya perbicangkan akhir-akhir ini karena memang insya Allah saya berencana ke arah sana...Cuma saya heran dengan kata-kata sekali seumur hidup yang selalu dikumandangkan setiap orang ke saya...Lalu saya berpikir, kenapa semua orang selalu takut kehilangan momen satu kali dalam seumur hidup kemudian harus membuat moment tersebut menjadi sangat special sehingga bisa dikenang...? Mereka takut kehilangan esensi kenangan kah? Dan ukuran menikah yang special itu adalah UANG. Jangan munafik pasti UANG yang akan menentukan acara menjadi istimewa.

Perspektif seperti itu sangat tidak salah...terserah bagaimana cara memandangnya. Tapi, dalam hidup saya, saya tidak pernah membuat satu momen menjadi satu-satunya dan harus penuh kesan, karena memang saya tidak pernah ingin merancangnya dan membuatnya sedemikian spesial sehingga satu waktu di masa depan saya bisa mengenangnya. Karena kadang-kadang, kenangan indah di masa lalu itu malah bisa menyakiti masa depan...tidak percaya? Tanyakan pada orang-orang yang berpisah dengan pasangannya...atau ke mereka yang tidak harmonis dengan pasangannya. Jadi kenangan itu tidaklah esensial...

Dulu waktu saya akan diwisuda S1, semua orang, keluarga, sahabat, dan teman ribut karena saya. Saya waktu itu nggak mau dandan selayaknya para wisudawan lainnya, yang berangkat ke salon jam 3 pagi terus rias pake tetek bengeknya dan berangkat ke kampus bawa ortu atau keluarga satu truk. Masih lekat di ingatan saya, waktu itu saya berangkat ke kosan sahabat saya jam 6 pagi pakai kaos, rok, dan sandal sambil bawa tas isinya kebaya yang saya pake di mantenan saudara, rok batik, toga dan tas ransel. Saya bermaksud dandan sendiri yang sesuai menurut selera saya disana sebelum berangkat ke gedung. Kemudian karena acaranya masih lama, saya tiduran dulu di kasurnya si Emil. Sementara mungkin, sahabat-sahabat saya, Mera, Paimin dan Emil mbatin...”arek edan, sing liyane podo sik nang salon kate wisuda, arek iki malah turu.”

Semuanya dandan awur-awuran, Ebes, Emak, Trimbil

Bahkan si Fai dandannya lebih cantik dibandingkan Trimbil

Poniku membuat rambutku kayak Helm...ahahahaha


Kata orang, wisuda S1 cuma sekali, pertama kali disahkan jadi sarjana. Harus dandan cantik, selayaknya orang pada umumnya, terus nanti foto-foto biar fotonya bisa dipajang buat kenang-kenangan. Kalo gak dandan maksimal nanti sayang gak ada yang bisa dikenang. Inilah yang saya bilang dengan cara pandang manusia yang sering mengeneralisasikan sesuatu karena orang lain melakukannya, sehingga kalo ada orang gila yang bersikap tidak umum, dibilang nggak mengikuti aturan yang ada. Saya adalah orang yang suka cara saya yang sangat simpel, yang sering dianggap orang tidak umum dan melanggar aturan yang umum, dengan begitulah saya menjadi beda dari yang lain...dan saya tidak peduli. Toh saya nggak berbuat yang melanggar norma-norma dengan cara saya itu.

Kalau ada orang nanya foto resmi wisuda saya bahkan saya sudah lupa dimana? 

Biarin aja... satu foto tidak akan bisa menceritakan kenangan penting saat wisuda seorang Astri. Tapi saya punya kenangan yang lebih indah dari penampilan saya saat itu yang bisa saya ceritakan ke anak cucu saya, terserah mereka percaya apa nggak...hehehe...

Kembali ke tema menikah seumur hidup sekali...

Saya sering pusing karena pihak keluarga punya keinginan bla bla bla...acara harus seperti ini, pakai baju ini, diselenggarakan seperti ini, meriah, yang diundang banyak, makanannya enak, dandannya harus bagus, fotonya harus banyak dan semuanya MENGELUARKAN UANG...hoooh...

Liat atas bawah kanan kiri yang dibayangkan DUIT (nangis dalam hati)
 
Bukannya saya pengen bikin acara nikah asal-asalan dengan kesederhanaan saya...Cuma saya pengen hidup dimana kita menyesuaikan dengan kemampuan. Kalo nggak mampu ngundang 1000 orang dan cukup dengan 300 orang kenapa harus memaksakan ngundang 1000 orang? Kalo gak mampu bikin acara 200 juta, kenapa harus gengsi bikin acara 10 juta? Toh apa esensi menikah adalah mencari cinta yang halal dan menyempurnakan separuh ibadah kita kepadaNya...

Terus

Ada temen jauh (dia juga punya WO dan maksa saya pake WO nya, padahal saya udah pake WO sahabat saya)  yang bilang :

“Loooh jangaaaaan, nikah kan cuma sekali seumur hidup. Harus bagus dooong... (Yang mau nggak bagus itu yo siapa?) Jangan sederhana-sederhana sekali (Emang lu mau bayarin gue?) semuanya harus dipersiapkan dengan baik (yang mau asal-asalan juga siapa), aku dulu aja nikah habisin 60 jt (emang gue pikirin)...”

Sumpah...suara-suara itu bikin frustasi...

sampek berharap bisa kayak Quint yang hidupnya santai (gak mikir bondo rabi)

“Pake adat jawa aja biar bagus (gue sama fahmi orang Indonesia, jadi pake adat Indonesia). Jangan pakai baju warna itu ndak pantes kamu (lha sakkarepku tah mau pake warna apa). Cateringnya mesen ini aja (lu tinggal makan gak pake bayar aja ribut), aku pesen chocolate fountain – suara hati nduty suketi (lha lapo mek nyelup jajan nang coklat bayar 4,5 juta mending gawe liburan nang Paris). Undangannya kok cuma dikit gak ditambah biar rame (ya duitnya tambahin dong). Suvenirnya jangan murah-murah (alah suvenir habis itu digletakno ae katene larang-larang)”

Seandainya saya bisa ngomong seketus itu...seandainyaaaaa bisaaa....pasti saya akan ngomong sejudes itu ke mereka... tapi saya harus menghormati setiap opini orang...

Yaaaaaaaaah itulah manusia pada umumnya....menciptakan tatanan dan aturan...dan ketika ada yang berbeda, mereka bergejolak...dan kemudian menjadikan yang satu-satunya sebagai sesuatu yang harus dilakukan dengan cara “sebagaimana orang umum melakukannya”.

Saya dan fahmi sama-sama anak pertama, dan keluarga kita karena sama-sama mantu pertama jadi harus bagus...sempet saya mikir, kenapa gak mau bikin acara dengan baik dan layak kemudian sisa rejeki yang ada ini bisa dipake mantu adik-adik kita...? daripada membuang-buang uang banyak untuk acara “mantu pertama”, kasian kan yang berikutnya...

Pernah saya menemui, sebuah keluarga, saat itu mereka termasuk orang berada. Waktu mantu pertama, acaranya meriiiaaaaaaaaaaah sekali, mewaaah glamor, bahkan suvenirnya dibeli di luar negeri...kemudian ketika ayahnya pensiun dan dengan keterbatasan ekonomi saat ini, ketika mantu anak berikutnya, acaranya sangat sangat sangat sederhana sampe terkesan melas...wahai orang tua dan calon orang tua (termasuk saya)...berpikirlah panjang...apalagi kalo anaknya lebih dari satu...Emang adakah yang spesial dari mantu pertama kali dan yang pertama hanya terjadi sekali?? Nggak ada blas...Cinta itu tidak perlu dirayakan dengan berlebihan, Cinta itu harus dihalalkan dan dijaga sampai habis usia...



Bahkan kadang saya sangat geli ketika memikirkan hal ini...

Anggap seandainya saya akan mengeluarkan uang 30 juta nanti untuk semua-muanya, gedung, baju, catering, dekorasi, suvenir, undangan, yang sekali gebyaran habis. Gedung akhirnya juga ga dimiliki, baju dikembalikan, dekorasi dibuang, catering dimakan, undangan dibuat cikrak sama mbah ti, suvenir digletakin...dan return yang saya dapet adalah cinta yang halal dan seorang suami.
Mahal banget ya ongkos untuk menghalalkan cinta?

Padahal Allah udah membuat cara menghalalkan cinta menjadi sangat simpel...

Manusia...manusia...memang rumpik nista....

SUMPEK...

Lebih baik tidur




Cinta yang Halal pun Butuh Materi (Akeh pisan)...