“Kenapa kau ingin mengakhiri apa yang belum dimulai?” amarahmu memecah sepi. Pertanyaan retoris, tidak perlu aku berpikir keras untuk menjelaskan alasanku berulang kali secara logis dan realistis. Kau begitu lelah sehingga dirimu dahulu yang setenang daun teratai di danau akhirnya bergejolak juga hanya karena diriku yang ingin melepas semuanya.
Kau ingin melukiskan lelahmu, tanpa kuas atau semburat warna-warni cat minyak diatas kanvas. Namun jelas dirimu adalah lukisan realis paling nyata dari lelahmu. Murammu menggambarkan kesedihan dan kecewa, surammu begitu kelabu hingga aku tak berani berpatah kata. Aku tak ingin kau terluka, karena luka yang terus menerus digores akan menjadi borok, dan akulah yang menggoresnya berkali-kali hingga kau kebal terhadap kepedihan.
Detik-detik itu tetap hening, kau dan aku sama-sama tak bergeming. Emosi membakar jiwa tanpa berani berekspresi. Kau ingin menangis, aku ingin menyeka tangismu dalam pelukanku. Aku ingin memaki, kau berharap mampu menenangkan dalam rengkuhanmu yang mendamaikan. Tidak ada keberanian, tak ada kekuatan, dan tiada daya, yang ada hanya keinginan.
Inisiatif mendorongku untuk menatap matamu, “Aku hanya tidak ingin menyakitimu hari demi hari”, kau mambalas menatap tajam dengan dua mata indahmu yang selalu kukagumi, “Bagaimana dua orang yang telah bercinta bertahun-tahun lamanya akan berpisah 3 hari sebelum berikrar sehidup semati dalam prosesi yang sakral?”. Jawabku singkat “Kau sebenarnya tahu bahwa ada cinta yang lain”. Aku berhenti sampai titik itu.
Kau ingin menuliskan lelahmu padaku, namun pena ibarat pisau bagimu. Setiap kata yang kau tulis akhirnya menyayat-nyayat dirimu sendiri. Tak perlu kau tuliskan lelahmu karna aku adalah pembaca paling mengerti kisah yang kau ceritakan dari dirimu. Bertahun-tahun bersama membuatku mampu membaca jalan pikiranmu, memperhatikan ritmemu berbicara, dan menghafal setiap intonasimu dalam berkata-kata.
“Hujan deraspun akan selalu reda, ombak yang ganas akhirnya akan tenang, kau pun begitu. Lukamu pasti akan sembuh terobati” aku terus membela diri. Aku tahu komitmen adalah proses transaksi ekonomi antara dirimu dan aku yang dibayar dengan harga mati kesetiaan. Petualang cinta sepertiku akan selalu menawar kesetiaan, entah padamu, padanya atau pada yang lain.
“Duakan saja aku, akupun tidak berkeberatan jika kau memang menghendaki. Aku yakin pada akhirnya kau pun akan memilihku, kau hanya butuh udara segar ketika ruanganmu telah sesak dan pengap, kau menginginkan es batu di dalam sirup ketika telah jenuh meminum teh yang hangat, kau hanya ingin berpetualang dalam asmara dan gairah barumu. Suatu saat kau tahu siapa yang benar-benar diinginkan hatimu, dan ia adalah aku”, kalimatmu begitu tegas dan menusuk.
Aku hanya mampu berbicara pada hati nurani, andai aku tidak harus menjatuhkan vonis pada detik itu juga. Bukankah kehidupan ini adalah tempat tawar menawar yang hasil akhirnya adalah kesepakatan. Matahari pun harus memilih, ia tak bisa menyinari barat dan timur dalam waktu serentak. Begitu pula dengan aku, tidak bisa aku membagi cinta, sekalipun diriku terfragmentasi, cinta akan menuju pada bagian tubuh yang kukehendaki. Kali ini tidak kuserahkannya padamu, itulah kesepakatan paling tidak adil.
Lelahmu menitikkan air mata, tak kuasa lagi kau menahan luka. Kau pun berlutut kemudian bersandar pada tembok yang dingin. Berlutut bukannya memohon, bersandar bukan berharap. Aku tahu lelahmu mencapai titik klimaks, menusuk ubun-ubun. Tak kuat kau bertahan melawannya akhirnya kau berserah. Tak ada lagi konsep tawar menawar, karena kesepakatan itu sudah final. Kau memberiku satu kesempatan, satu langkahku maju artinya tak akan ada pintu terbuka untuk menyambutku kembali, satu langkahku mundur adalah dunia tempat hidupku bertahun-tahun mendatang terkotakkan bersamamu dan komitmen.
“Baiklah” aku memutuskan. Kubawa semua koper-koper berisi pakaian yang telah kukemas semalam. Egoisme menuntun seorang petualang cinta meninggalkan pemujanya. “Tolong kau urus semuanya, batalkan saja, katakanlah bahwa semua ini salahku” dengan entengnya aku berkata demikian. Satu persatu anak tangga kuturuni menjauh darimu. Kau hanya diam dan menangis, lelaki yang digenangi air mata adalah wujud keterpurukan dan putus asa yang mendalam. “Terima kasih, untuk semua cinta dan pengkhianatan, kubiarkan petualang cinta mengeksplorasi petualangan yang baru agar dia bahagia” kau menutup prosesi berakhirnya cinta.
Tanpa berpaling akupun bergegas. Aku kan pergi dan tidak kembali.
Bercinta kembali dan kemudian pergi lagi.
Karena aku petualang cinta, yang tak pernah mengenal kata setia.
Malang, 26 November 2010, 23.00 WIB
Kau ingin melukiskan lelahmu, tanpa kuas atau semburat warna-warni cat minyak diatas kanvas. Namun jelas dirimu adalah lukisan realis paling nyata dari lelahmu. Murammu menggambarkan kesedihan dan kecewa, surammu begitu kelabu hingga aku tak berani berpatah kata. Aku tak ingin kau terluka, karena luka yang terus menerus digores akan menjadi borok, dan akulah yang menggoresnya berkali-kali hingga kau kebal terhadap kepedihan.
Detik-detik itu tetap hening, kau dan aku sama-sama tak bergeming. Emosi membakar jiwa tanpa berani berekspresi. Kau ingin menangis, aku ingin menyeka tangismu dalam pelukanku. Aku ingin memaki, kau berharap mampu menenangkan dalam rengkuhanmu yang mendamaikan. Tidak ada keberanian, tak ada kekuatan, dan tiada daya, yang ada hanya keinginan.
Inisiatif mendorongku untuk menatap matamu, “Aku hanya tidak ingin menyakitimu hari demi hari”, kau mambalas menatap tajam dengan dua mata indahmu yang selalu kukagumi, “Bagaimana dua orang yang telah bercinta bertahun-tahun lamanya akan berpisah 3 hari sebelum berikrar sehidup semati dalam prosesi yang sakral?”. Jawabku singkat “Kau sebenarnya tahu bahwa ada cinta yang lain”. Aku berhenti sampai titik itu.
Kau ingin menuliskan lelahmu padaku, namun pena ibarat pisau bagimu. Setiap kata yang kau tulis akhirnya menyayat-nyayat dirimu sendiri. Tak perlu kau tuliskan lelahmu karna aku adalah pembaca paling mengerti kisah yang kau ceritakan dari dirimu. Bertahun-tahun bersama membuatku mampu membaca jalan pikiranmu, memperhatikan ritmemu berbicara, dan menghafal setiap intonasimu dalam berkata-kata.
“Hujan deraspun akan selalu reda, ombak yang ganas akhirnya akan tenang, kau pun begitu. Lukamu pasti akan sembuh terobati” aku terus membela diri. Aku tahu komitmen adalah proses transaksi ekonomi antara dirimu dan aku yang dibayar dengan harga mati kesetiaan. Petualang cinta sepertiku akan selalu menawar kesetiaan, entah padamu, padanya atau pada yang lain.
“Duakan saja aku, akupun tidak berkeberatan jika kau memang menghendaki. Aku yakin pada akhirnya kau pun akan memilihku, kau hanya butuh udara segar ketika ruanganmu telah sesak dan pengap, kau menginginkan es batu di dalam sirup ketika telah jenuh meminum teh yang hangat, kau hanya ingin berpetualang dalam asmara dan gairah barumu. Suatu saat kau tahu siapa yang benar-benar diinginkan hatimu, dan ia adalah aku”, kalimatmu begitu tegas dan menusuk.
Aku hanya mampu berbicara pada hati nurani, andai aku tidak harus menjatuhkan vonis pada detik itu juga. Bukankah kehidupan ini adalah tempat tawar menawar yang hasil akhirnya adalah kesepakatan. Matahari pun harus memilih, ia tak bisa menyinari barat dan timur dalam waktu serentak. Begitu pula dengan aku, tidak bisa aku membagi cinta, sekalipun diriku terfragmentasi, cinta akan menuju pada bagian tubuh yang kukehendaki. Kali ini tidak kuserahkannya padamu, itulah kesepakatan paling tidak adil.
Lelahmu menitikkan air mata, tak kuasa lagi kau menahan luka. Kau pun berlutut kemudian bersandar pada tembok yang dingin. Berlutut bukannya memohon, bersandar bukan berharap. Aku tahu lelahmu mencapai titik klimaks, menusuk ubun-ubun. Tak kuat kau bertahan melawannya akhirnya kau berserah. Tak ada lagi konsep tawar menawar, karena kesepakatan itu sudah final. Kau memberiku satu kesempatan, satu langkahku maju artinya tak akan ada pintu terbuka untuk menyambutku kembali, satu langkahku mundur adalah dunia tempat hidupku bertahun-tahun mendatang terkotakkan bersamamu dan komitmen.
“Baiklah” aku memutuskan. Kubawa semua koper-koper berisi pakaian yang telah kukemas semalam. Egoisme menuntun seorang petualang cinta meninggalkan pemujanya. “Tolong kau urus semuanya, batalkan saja, katakanlah bahwa semua ini salahku” dengan entengnya aku berkata demikian. Satu persatu anak tangga kuturuni menjauh darimu. Kau hanya diam dan menangis, lelaki yang digenangi air mata adalah wujud keterpurukan dan putus asa yang mendalam. “Terima kasih, untuk semua cinta dan pengkhianatan, kubiarkan petualang cinta mengeksplorasi petualangan yang baru agar dia bahagia” kau menutup prosesi berakhirnya cinta.
Tanpa berpaling akupun bergegas. Aku kan pergi dan tidak kembali.
Bercinta kembali dan kemudian pergi lagi.
Karena aku petualang cinta, yang tak pernah mengenal kata setia.
Malang, 26 November 2010, 23.00 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Polite comment and critic only