Pagi ini, ketika saya membaca artikel di harian Kompas, ada kolom yang menarik perhatian saya. Tulisan itu berkaitan dengan liputan menarik di dunia kampus yang berjudul "Mau Sukses? Keluarlah dari Zona Nyamanmu!". Sedikit banyak tulisan itu menggelitik sekaligus menyadarkan saya tentang dunia kewirausahaan. Dua narasumber yang berbagi cerita dalam tulisan itu adalah Fauzan Rachmansyah, wirausaha muda dari Yogyakarta, dan Wahyu Aditya, desainer grafis sukses yang juga alumni SMAN 3 Malang seperti saya. Hehehe... Mereka bercerita tentang perjalanan mereka mencapai kesuksesan dengan 'berdiri diatas kaki sendiri'.
Sebelumnya, ada pengalaman menarik yang ingin saya share di tulisan ini dan berkaitan dengan mentalitas pengusaha. Ketika saya mengambil kursus memasak di Imperial Cooking School, teman-teman saya kebanyakan adalah etnis Tionghoa. Anda tahu apa perbedaan pola pikir mereka dengan orang pribumi??? Nah, akan saya ceritakan pada Anda. Teman-teman saya, ada yang seumuran, lebih muda ada juga yang sudah berkeluarga kebanyakan mereka berasal dari keluarga pengusaha. Ada yang keluarganya mengelola perusahaan penjualan ban yang besar, ada yang pengusaha tekstil di pasar tanah abang, dan ada yang punya perusahaan di Bali.
Pola pikir mereka adalah, pertama, ketika mereka menyukai satu hal, misalnya saja memasak, mereka akan FOKUS untuk meningkatkan keterampilan dan pengetahuan mereka di bidang itu karena bagi mereka, ilmu tanpa skill itu pada akhirnya yang akan lebih banyak berperan adalah skill. Percuma saja kita membaca cara membuat macaron dari buku kalau kita tidak mempraktekkannya. Salah satu teman saya, Kris, bahkan sampai disekolahkan orang tuanya ke Swiss, salah satu negara yang memiliki sekolah hospitality terbaik di dunia. Skill + ilmu + fokus pada satu tujuan itu nantinya yang akan menghasilkan uang...menurut mereka...
Kedua, pola pikir mandiri mereka yang menganggap sukses tidak selalu harus bekerja di perusahaan. Salah satu teman baik saya, Mbak Erni, malah bilang "Astri, kamu itu jangan di Jakarta. Balik aja ke Malang, kembangkan usaha katering Ibumu. Gak usah kerja disini, pelan-pelan kamu berusaha sendiri, wong kamu punya skill, harus dikembangkan". Bedanya kalau orang Indonesia yang bilang ke saya adalah "Astri udah ngelamar kerja dimana? Astri pengen kerja di perusahaan apa? Kalau pengen sukses harus mulai dari kerja di perusahaan dulu baru kalo modal udah ada kita buka usaha sendiri. Astri kamu pinter, sayang kalau kamu nggak kerja di perusahaan besar yang bagus."
See the difference?
Entahlah...bagi saya tidak ada opini yang salah, karena hidup itu memang pilihan. Orang yang sukses bekerja di perusahaan banyak, yang sukses berwirausaha juga banyak, tergantung bagaimana seseorang mengusahakan kesuksesannya.
Memang benar apa yang dibilang kedua pengusaha muda yang diliput dalam tulisan di Kompas hari ini, berwirausaha adalah keluar dari zona nyaman dan mencari tantangan. Emang kerja nggak keluar dari zona nyaman dan nggak ada tantangan? Bedanya begini, bekerja di perusahaan orang, kita juga akan menghadapi banyak tantangan dan juga keluar dari zona nyaman kita (karena orang yang belum dapet kerjaan kan nyaman...leha-leha di rumah, jalan-jalan, keluar kalo ada test/interview kerja...aku lak an?), tapi di satu sisi mereka masih memiliki security karena gaji tetap ada, tunjangan ada, meja kerja ada, ruangan AC ada...wis nyaman pokoknya. Nggak nyamannya adalah terikat jam kerja atau target perusahaan plus harus lembur yang kadang sukarela kadang terpaksa...hahaha...
Tapi, kalau kita berwirausaha, kita benar-benar keluar dari sana dan memang tantangannya lebih berat. Untuk berwirausaha kita akan memulai dari benar-benar nol, menciptakan produk dan berinovasi sehingga produk kita bernilai tambah, kalau udah ada produk kita harus mikir gimana cara agar produk kita terjual di pasaran, kalo udah dikenal kita masih mikir gimana supaya penjualan ini bisa meningkat, terus ketika permintaan naik kapasitas produksi kita belum bisa mencapai jumlah demand maka kita harus mikir gimana cara meningkatkan kapasitas produksi...dan yang paling ditakutkan kebanyakan orang adalah TIDAK ADA FIXED INCOME Yaaaa.....hal inilah yang menyebabkan Dahlan Iskan, CEO Jawa Pos, harus rela tidur 2-3 jam setiap harinya, dan menghabiskan puluhan tahun hidupnya untuk bekerja dan membesarkan Jawa Pos...
Mulai saya berpikir dan mengintrospeksi diri... sebenarnya sejak kecil, mencari uang 'tambahan' sendiri, tidak asing bagi saya. Waktu SD saya menyewakan buku-buku dan komik saya seharga Rp 100,00 per hari pada teman-teman saya dan berjualan pembatas buku. Ketika SMP saya beralih dengan menjual aneka stationary yang lucu-lucu, kemudian SMA saya berjualan boneka flanel yang saya buat sendiri... masa SMA ini adalah masa kejayaan saya...hoho...dimana saya bisa mendapat ratusan ribu dalam hitungan hari... dan ketika kuliah, dan saya menemukan true passion saya, saya membuka usaha pastry dengan numpang usaha katering Ibuk dan sempet berwirausaha kuliner bubur kentang bersama dua orang teman saya.
Sebenarnya dengan skill dan pengalaman saya, saya harus menetapkan cita-cita lebih dari seorang chef, tapi CHEFPRENEUR...seperti pastry chef idola saya, Adriano Zumbo yang juga seorang chefpreneur. Menjadi seorang chefpreneur tantangannya lebih dari sekedar jadi seorang chef...asyiknya adalah kita bisa menggila dengan ide-ide kita dan mewujudkannya tanpa ada yang menghalangi...untuk lihat karya gila Adriano Zumbo bisa klik disini http://adrianozumbo.com/
Kesalahan saya adalah... Saya orangnya nggak FOKUS. Fokus saya mulai mbleret waktu lulus, kemudian temen-temen saya bekerja di perusahaan-perusahaan asing, BUMN, atau perusahaan yang mau bayar mereka jutaan lah per bulan. Naaah...mulai di titik itu saya toleh kanan kiri...hi ini kok punya Blackberry ya, hi ini kok udah jalan-jalan ke Singapore ya, hi si itu kok udah bisa beli barang bermerk ya... Nah lo, sapa yang gak tergiur... wis mulai membuat rasionalisasi bahwa kita harus realistis. Meski pengen mengejar cita-cita jadi chef (yang bayarannya dikit)... saya mikir-mikir, yo wis nggak papa, nyoba-nyoba ngelamar jadi akuntan, gaji 3 juta gakpapa lah asal ada pemasukan tetap... wis surat lamaran banyak dikirim ke perusahaan A, B, C dan D...total kira-kira saya udah melamar 40 perusahaan selama 1 tahun ini... terus??? gak ada yang mau nerima dan pernah saya test dan interview untuk posisi accounting di hotel 5 star tapi nggak ada kelanjutannya...
Tuhan memberi saya pengalaman dan pelajaran berharga selama perjalanan satu tahun ini, baik itu pelajaran dari apa yang saya alami sendiri ataupun dari nasehat-nasehat yang diberikan orang lain pada saya. Sekarang saya sudah menyelesaikan kursus saya di Imperial Cooking School Tokyo, skill saya semakin bertambah meski belum tingkat gila masterchef pastry Adriano Zumbo, dan saya harus menetapkan pilihan. Dunia korporasi atau dunia culinary... oke saya pilih dunia kuliner... Jadi chef atau chefpreneur...saya pilih jadi chefpreneur...impian saya adalah segera membuka Frenchtalian cafe saya MonZa...kedua, saya pengen punya french pastry shop dan membuat pastry-pastry 'gila' seperti Adriano Zumbo...
Sekali lagi tidak ada yang salah dari pilihan hidup, yang salah adalah kita tidak membuat pilihan...(seperti saya). Pakailah kacamata kuda, jangan liat orang lain yang punya ini itu sehingga kita latah... Paman Aji bilang, kalau kita berusaha dengan baik, rejeki bakal datang. Kalau kita berusaha dengan baik, Tuhan nggak akan nutup mata kok...
Akhirnya
Sukses itu kemampuan kita bangkit dari satu kegagalan dan kegagalan berikutnya tanpa kehilangan antusiasme...
Selamat mengejar kesuksesan...ingat jangan kehilangan FOKUS dan HARAPAN...tetep berusaha yang terbaik
(Ngomong ke diri sendiri juga..hehehe...)
Love
Astri
suka deh sm postingan ini..
BalasHapussemangat astrii...
gmn klo kita blum tau apa 'sebenarnya' mimpi kita?
hahah..kasian ya,,
semangat !!...sekarang aku kerja di dunia advertising yg lumayan asikk...tp passion saya juga ke dunia usaha culinary, mangkanya sekarang saya sambil kerja sambil kursus..di imperial tokyo cooking class juga :p
BalasHapusgood sharing (y) thanks for posting
BalasHapusUntuk teman2 saya tidak rekomen untuk kursus di jmperial cooking school tokyo karena walaupum chef ny org jepang tp perilaku sm skali ga kyak org profesional. Emosian. Ngajar tdk tulus seakan hanya mw duit kita sj. Apalagi untuk yang kelas 20jt k atas. Mending ambil 1 menu dlj untuk lihat keadaan. Intinya dia sok profesional. Awal2 baik2 mw ajarin tp lama kelamaan kita dikasih ke karyawannya dan dia baik2in student baru.
BalasHapusEnvironment pun jg tdk profesional dan menu nya tdk sesuai gmbar apalagi rasa ny jgn membayangkan yg profesiinal. Benar2 tdk rekomen deh!
Untuk review imperial cooking school tokyo 2 dari 5. Sangat tidak rekomen bagi yang ingin belajar profesional. Banyak yg kecewa.
BalasHapus