Kamis, 09 Februari 2012

Jauh


Di suatu hari kemarin, jauh adalah kata yang selalu berbisik, mendesir perlahan ditelinga, mengetuk teratur seperti irama yang dimainkan di tuts piano, mengalun seperti petikan gitar, merangkai nada dalam huruf-huruf J-A-U-H.

Aku selalu bercita-cita untuk pergi, lepas jauh seperti peluru yang ditembakkan melesat menuju suatu tempat. Merangkai kepingan impian yang pondasinya telah kutanam dan kubangun dalam keyakinan hatiku. Jauh dari pelukan ibu, jauh dari tawa canda mereka, dan jauh dari rengkuhanmu yang kuat dan menentramkan. Seakan aku berkompetisi dengan jarak dan waktu, pergi adalah kata riang gembira yang bersenandung dalam lagu. Aku yang selalu bernyanyi dan melangkah maju menyukai lagu yang bercerita tentang kepergian, mengisahkan perpisahan dan meninggalkan tanah dimana kakiku berpijak.

Negeri itu dambaanku, manusia yang ingin mengukir kisah dalam sejarahnya sendiri. Tak peduli pada akhirnya aku akan dikenang sebagai siapa, aku hanya ingin pergi kesana. Ke satu tempat itu. Tempat dimana cinta abadi akan selalu membara di setiap sekon perjalanan, karena jauh itu ketidakpedulianku padamu kemarin. Tempat dimana langit senja merah berhias gedung opera dan jembatan kokoh yang bersanding di sampingnya atau negeri dimana seni dan menara adalah kebanggan mereka.

Kau selalu menertawakan pilihan takdirku, dan menahanku dalam ruang yang kau yakinkan aku mampu menguasainya suatu saat. Bagaimana jika aku tak mau memasuki dunia itu? Aku ingin jauh, mengoreksi suratan Tuhan hingga Dia pun tahu, hasratku bukan tinggi hati dan mengabulkan satu doa untukku tak kan mengecewakanNya.

Akhirnya, di suatu waktu, jauh pula yang menautkan hati kita hingga aku bisa mengisahkan satu cerita pendek.
Masih tergambar jauh ketika tujuh bulan berlalu, setiap sudut kota dan atmosfer kerinduan itu masih sesekali samar muncul dari memori. Jauh seakan menghentikan watu dimana kuingin bergegas pulang dan bersua denganmu, dengan mereka, dengan ibu.  Ternyata jauh menyempitkan paru-paru yang menginginkan hembusan udara kasih dan menyesakkan batin yang butuh disayangi.

Lantas kubercanda dengan refleksi diri di sebuah cermin persegi berbingkai kayu. Bagaimana ambisi untuk jauh yang berkobar-kobar bagai lidah api seakan dipadamkan oleh satu kata cinta. Konyol, ternyata dirimu adalah penakluk obsesiku menjadi bintang diatas gelapnya langit, akupun tersenyum sendiri. Tersipu malu pada janjiku untuk sang impian.

Merantau itu hasrat jiwa yang penuh rasa ingin tahu, tapi bersama hatimu seakan menjadi tanggung jawab yang tak bisa ditoleransi sekalipun oleh jauh. Bagaimana jika kita bersama, mendekatkan jauh dan mengaburkan status menjadi sesuatu yang tak lagi layak untuk dikumandangkan? Karena kisah sengsaramu membuat jauh menjadi siksaan. Sayangku tak akan jauh ketika duka mendampingimu, dan tetap bersemayam dalam perasaan yang sama ketika kau bersuka cita.

Ternyata...jauhku itu dirimu...dan diriku adalah jauhmu. Kita berjauhan dari tatapan mata, tapi akan selalu mendekat dengan sentuhan batin. Baru kali ini aku membenci jauh seperti aku tidak menyukai diriku yang melukai hati gadis ceria yang kukenal beberapa tahun.

Hari berlalu dan jauh menginginkan penawarnya agar hidup tak jadi melompong karena ritual yang berteman dengan monotonisme tanpa satu simpul senyumanmu yang selalu dinantikan setiap harinya.

Aku berharap bulan lekas berlari menuju satu tempat dimana jauh akan lesap menjadi uap yang membawa air mata rindu. Kemudian mari berbincang dalam hening, biar saja alam yang mendengar dan langit yang bersaksi. Dirimu dan aku duduk tanpa sepasi dan bercerita tentang jauh kita tanpa jeda dan koma.

Kemudian aku akan mengajukan satu permintaan...

“Jangan jauh untuk kemudian...”


Kau dan jauh, pemisah daratan dan samudera, pengisah suka dan lara, dan yang mewarnai pelangi...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Polite comment and critic only