(Ini tulisan curhatan orang yang lagi pusing, jadi silahkan abaikan saja...)
Terinspirasi dari salah satu kalimat di film 13 going on 30...
“Love is a battle field”
Kalimat diatas saya tafsirkan sebagai “dimana anda meletakkan cita-cita, hasrat dan impian anda, disanalah anda akan menghadapi banyak tantangan untuk memperjuangkan apa yang anda inginkan”. Cita-cita saya sampai saat ini masih ingin menjadi profesional chef, chefpreneur dan restaurateur...seseorang yang expert di dunia culinary...sebagai sosok itulah saya ingin dikenang ketika saya mati nanti...culinary adalah the love of my life...
Ketika seseorang memiliki ‘cinta’ pada sesuatu, dia akan banyak menghadapi tantangan dan ujian di wilayah itu...haha...berdasarkan pengalaman pribadi... Tahun lalu adalah tahun perjuangan memenangkan beasiswa kuliner ke Le Cordon Bleu...entahlah, saya sangat menginginkan belajar di one of the most prominent culinary school in the world tersebut... Sehingga untuk mewujudkannya saya sangat mempersiapkan diri, mulai dari mengikuti test IELTS hingga melamar dua beasiswa kuliner, pertama di Le Cordon Bleu Sydney melalui Endeavour Award, dan kedua di Le Cordon Bleu Chicago melalui Fulbright...dan
GAGAL SEMUA...(saya menertawakan diri sendiri sekaligus meratapi kegagalan dengan mewek di tengah hypermart di ITC Depok karena teman saya memberitahu bahwa pemerintah Australi MENOLAK aplikasi beasiswa saya...hahaha)
Kegagalan saya kebanyakan disebabkan karena sedikitnya pengalaman saya di bidang culinary, ditambah background saya dari Akuntansi...bahkan Fulbright menyebutkan IELTS saya masih minim...kampreeet....(gak ngerti tah lek test IELTS iku deg2an ne isok seminggu dhw)
Akhirnya, setelah lulus dari Imperial Cooking School Jakarta, saya memutuskan pulang ke Malang untuk merajut kembali impian saya menjadi chef-preneur. Jika beasiswa tidak bisa membawa saya ke LCB, saya harus mencari plan B untuk mewujudkan impian bersekolah di LCB. Waktu itu saya berpikir, jika saya bekerja sebagai karyawan dengan gaji minimal 3 juta lah...dalam kurun waktu 10 tahun LCB belum bisa saya genggam...apalagi, untuk tahun 2012 saja biaya pendidikan untuk advanced diploma sudah mencapai angka setengah milyar...lha 10 tahun lagi saya harus punya uang berapa biar bisa sekolah disana? Belum lagi saya nggak tahu 10 tahun lagi itu saya seperti apa. Itulah kenapa saya ingin berbisnis kuliner...kali aja impian LCB saya meleset.
Paling nggak, dengan berbisnis kuliner saya bisa hidup dengan passion saya dan dapet penghasilan dari sana. Dengan planning yang belum terstruktur, saya buat brand Mbah Moesirah untuk produk kering kentang homemade, bersama sahabat saya mendirikan catering Aryza, dan berencana membuka booth takoyaki. Sebenarnya saya juga mempunyai rencana untuk bekerja sama dengan kakak sepupu saya membuka italian cafe impian saya, MonZa. Haduuu....banyak sekali yang harus saya lakoni...
Seorang teman saya bilang saya ambisius...hooh...dia memang benar. Kadang ambisi saya melebihi kemampuan saya dan seringkali saya ngoyo. Habis itu pusing sendiri...kayak sekarang saat saya mengetik tulisan ini, sebenarnya saya sedang pusing tingkat tinggi karena bisnis saya mulai jalan bersamaan dan manajemen masih tidak terstruktur... Bagaimanapun, saya pengen bisnis kuliner saya ini naik kelas...bukan hanya jadi bisnis amatir yang dikelola secara amatiran...(setengahnya curhat gitu ya di tulisan ini). Yang terjadi adalah, sumber income yang bergantian...kadang minggu ini rame di bisnis catering, minggu berikutnya takoyaki sold out tapi catering sepi...nggak stabil...fokus saya jadi terbagi dan saya harus segera membenahinya satu persatu atau semuanya akan collaps jika saya mengelolanya dengan tidak smart...
Pusiiing...
Inilah yang saya sebut battle field...saya sudah menetapkan hati ingin jadi pengusaha kuliner dan menjadi culinary expert, saya akan setia di dunia ini, jadi saya harus menerima segala konsekuensinya...dan dalam sebuah peperangan tantangan terbesar adalah
Mengalahkan rasa takut dan bersahabat dengan ketidakpastian
Terus terang, dalam skala 1-10 rasa takut saya ada di angka 15, hahaha...seandainya saya memutuskan untuk bekerja di suatu instansi, setidaknya rasa takut itu masih berada di dalam range 1-10. Saya takut gagal, takut rugi karena sudah mempertaruhkan modal saya sendiri, saya takut harus melakoni sendiri semuanya, saya takut nggak ada income fix tiap bulan sedangkan sudah ada tuntutan bagi saya untuk mandiri secara finansial...
Bersahabat dengan ketidakpastian...saya nggak punya gaji tetap yang bisa saya andalkan. Kalo saya nggak nyari prospek saya nggak dapet uang, sedangkan peluang itu serba tidak pasti dan harus selalu kita cari...I thought it was easy when I started it...dan sekarang saya pengen ‘naik kelas’ so I have to defying gravity...keluar dari zona nyaman pertama saya menuju zona tidak nyaman kedua...
Sumpah... Tuhan saya takut
Saya tahu saya nggak sendirian menghadapi hal seperti ini...setiap orang memiliki medan perangnya masing-masing dengan segala permasalahan dan tantangan...dan malem ini saya pusing,,,berharap ada seseorang yang bisa memberi strategi perang ces pleng...
Jika saja nggak ada seseorang itu untuk saya
Saya akan menuliskannya sendiri malam ini...
I have found my own battle field...and the only thing to do to win this battle field is
Planning and Acting...
Sepertinya saya butuh paramex sekarang
Lagi search beasiswa kuliner di google, malah baca blog ini. Nasip kita kayaknya ga jauh beda mbak astri. Untuk hal passion di bidang kuliner dan backgroundnya malah akuntansi. Aku juga pengen ambil sekolah kuliner tapi.... ga jadi deh nanti malah curhat di komen blog orang. Terima kasih ceritanya mbak astri :))
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus