Selasa, 28 Februari 2012

The One I’ve Learned from Jinggo and Komeng


Ibu saya adalah tempat dimana saya belajar cara mencintai, mencintai tanpa syarat. Belajar mengenai penerimaan. Ibu saya menerima saya, dengan hidung saya yang besar, bibir saya yang empal...haha...kuping saya yang nyelaprang kayak centelan cangkir, rambut saya yang keriting, kaki saya yang bores-bores karena luka dan digigit kutu kucing. Dia tidak peduli semua itu, bagi ibu saya, saya itu cantik meski orang bilang saya jelek. Bukan karena saya adalah anaknya, namun karena cintanya yang tulus pada saya sehingga dia menerima saya apa adanya. 

Ada satu hal penerimaan ibu yang paling saya hargai selama saya hidup, yaitu Ibu saya menerima dan mendukung pilihan-pilihan hidup saya. Termasuk memilih ingin menjadi tukang masak seperti beliau.

I’ve learned about acceptance from my mom...

Belajar menerima itu tidak berbeda dengan mempelajari ilmu di sekolah. Ketika selesai satu bab, maka akan ada test atau ujian yang harus dilalui, dan ujian ilmu penerimaan saya tidak lain adalah dua sweetheart saya...Fidari Fitrianingtyas alias Jinggo dan Indra Wahyu Dewangga aka Komeng. They both have something in common, dan minggu ini adalah ujian saya untuk menerima dan mencintai mereka tanpa syarat.

Mereka memiliki banyak kesamaan, dari hal sifat, kesukaan, dan kebiasaan. Mereka berdua sama-sama rapi, yang satu kelewat rapi (Jinggo). Selera musik yang sama yaitu aliran mem-budeg-kan telinga, sama-sama bisa main gitar dan drum, ego-nya tinggi, keras kepala, sakkarepe dhewe, terus mesoh-mesoh dianggep biasa, suka makan yang enak-enak, nggak pelit, wajahnya sangar tapi sebenernya penyayang, sendu alias seneng ndusel, perasaannya halus tapi gak mau dibilang mellow, santai dan cuek (kadang cueknya nemen), kalo marah smsnya banyak tanda seru, nggak romantis blas dua-duanya. Cuma bedanya, Jinggo sukanya main puk-puk saya dan Komeng nggak boleh puk-puk saya...hahaha....

Mencintai apa adanya tanpa syarat itu susaaaah....butuh proses yang panjang, pemahaman yang mendalam dan sakit hati berkali-kali. Saya melihat ibu saya, dan saya berpikir, sudah berapa kali saya menyakiti perasaanya, dan berapa kali pula Ibuk melupakan rasa sakit hati itu dan kembali menyayangi saya. Penerimaan tanpa syarat kemudian saya definisikan sebagai keinginan untuk mencintai dan menyayangi seseorang yang melebihi keinginan untuk memendam rasa sakit hati karena telah dilukai perasaanya.

Minggu ini adalah ujian penerimaan bagi saya...

Entah kenapa kemarin tiba-tiba saat saya sedang di luar rumah, adik saya meng-sms saya dan bilang dia mau terminal kuliah karena udah nggak kuat mempelajari politik di jurusan HI. Saat itu saya sempat shock dan kecewa berat, perasaan campur aduk antara sedih dan marah. Baru saja paginya saya pergi ke Alfalink untuk mencarikan informasi sekolah musik di Malaysia, saya ingin adik saya menyelesaikan S1 nya dahulu kemudian dalam jangka waktu tersebut, kami sekeluarga akan mengupayakan cita-citanya untuk menjadi musisi. Tapi dia berkehendak lain... Saya sempat sedih sekali saat menyetir sendirian kemarin, mau apa adik saya jika hanya mengantongi ijazah SMA-nya. Kemudian saya berpikir dari sudut pandang dia dan orang lain...

Saya lo pengen jadi professional chef seperti halnya dia ingin jadi musisi. Bedanya saya bisa menyelesaikan S1 saya sedangkan dia sama sekali tidak suka dan tidak mampu mengikuti pelajaran di bangku kuliah. Jika dia sudah tidak suka dan tidak nyaman, kenapa saya harus memaksakan kehendak saya? Siapa saya? Adik saya berhak memilih apa yang menjadi pilihannya. Kemudian, saya berpikir lagi, banyak orang sukses tanpa memakai ijazahnya di dunia kerja. Mungkin saja adik saya salah satunya, mungkin saya dia akan lebih sukses dari saya yang bergelar sarjana jika kemampuan dan tekadnya untuk terus berusaha lebih kuat dari saya...Tuhan Maha Tahu, dan Dia memperbolehkan manusia menulis suratan takdirnya sendiri...

Akhirnya setelah menyupir sambil berpikir dan setengah ngantuk...saya ikhlas menerima apa yang dia putuskan...saya akan selalu disampingnya memberi dukungan moral untuk menjadi seseorang yang dia mau, dan saya juga bertekad suatu hari, saya ingin menyekolahkannya di sekolah musik bertaraf internasional...hidup hanya sekali, jika bisa memperoleh 10 kenapa harus memilih 8?

Kemudian...cobaan hati kedua datang dari Komeng...cuma saya nggak bisa membaginya di tulisan ini...yang jelas, kedua orang yang saya sayang diatas telah mengajarkan saya banyak hal tentang penerimaan dan dedikasi terhadap kasih sayang...tetap mencintai meski berkali-kali tersakiti (karena mereka berdua kalo ngamuk sama-sama medeni...banyak tanda serunya...hehehe)

Saya mencintai Komeng dan Jinggo dengan cara yang sama hanya bentuk cintanya yang beda...membutuhkan kesabaran luar biasa dan pemberian kasih sayang yang luar biasa pula...bagi saya mereka extra ordinary...makhluk yang lain dari yang lain...haha... memahami perasaan mereka ibarat membaca buku Da Vinci Code...harus perlahan-lahan, tekun, sabar...

They are my sweetheart, the different is Jinggo will always be my lovely little sister forever...and Komeng will always be my lovely Komeng, whatever it takes, in the future...

Peluk sayang Jinggo, Peluk kangen Komeng

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Polite comment and critic only