Minggu, 21 Agustus 2011

Sudut Tunggu

Temaram malam kelam dihias kelip bintang bersama mega yang menghitam. Di tempat ini aku selalu menyepi, sudut toko ini sekiranya bosan. Setiap kali kami bersua, aku hanya membawa segelas kola. Mengirit bukan berarti pailit, menghemat tidak berarti aku ketat.

Segelas kola menemani diriku di ruang bersuhu 18 derajad, kota yang penuh sesak dengan emosi jiwa dan tekanan darah memuncak manusia-manusianya seakan membuat tempat sejuk dan dingin menjadi sebuah jujugan dan kewajiban setiap aku pulang. Sudut favoritku.


Kudinginkan otak dan hatiku yang berjam-jam berteman dengan panasnya kompor dan disulut dengan kobaran api yang menyambar wajan yang ditetesi brandy dan cognac. Membakar alkohol hingga lidah-lidah api memuncak dan membelai kedua pipiku hingga merona merah.

Aku melamunkan hal-hal yang tak perlu, mendengarkan lagu-lagu tak bermutu dan memikirkanmu dalam fantasi abstrak yang tak mungkin kuraih tapi selalu kunantikan. 

Cahaya nila diseberang jalan, suram tapi indah, diiringi bisingnya kendaraan yang makin membuatku jemu. Di kursi tinggi ini aku sendirian, menenggak kola yang selalu kubayangkan seolah segelas whiskey. Aku selalu ingin merasakan sensasi mabuk ketika aku merindukanmu. 

Aku ingin mabuk dan melambungkan jiwaku dibawah alam sadar. Agar aku tak perlu selalu menyimpan kata dalam hening, agar aku percaya dan berani membela takdirku sendiri.


Cicak di kaca depanku menyapa sambil menjulurkan lidahnya, padahal nyamuk-nyamuk tidak mendekati dan menggodanya. Mungkin si cicak tergiur melihatku menyedot sisa-sisa kola dan menggerus es batu yang mengendap di dasar gelas kaca dengan gigi gerahamku.

Kaca di depanku merefleksikan siapa saja yang keluar masuk toko ini. Ajaib...aku bisa bercermin melihat wajahku yang loyo dan kusut sambil menerawang jalanan di depan yang senantiasa macet. Mungkin saja sekelibat bayangmu yang selalu kurindukan melintas diatas batasan nyata dan dunia supernatural.

Jika jam menunjukkan pukul 11 malam dan aku tidak segera beranjak pulang, pelayan toko ini sering memasang muka masamnya. Mungkin kesal, atau muak. Ketika ia mulai memberikan tanda untuk segera mengusirku keluar, aku segera beranjak karena aku harus segera pulang untuk menyambut esok hari.

Jam 11 tepat aku keluar dan berjalan tanpa semangat untuk bertemu bantal dan guling di studio apartemenku. Setiap hari, aku memandangmu di samping tempat tidurku, foto dirimu yang pergi 12 tahun yang lalu...yang meninggalkan aku tumbuh sendirian tanpa perlindungan dan kasihmu. Kau yang selalu membuatku menangis ketika aku mengingat detik terakhir kita bertemu, yang tidak sempat menciumku dan berpamitan. Pergi begitu saja.


Aku selalu pergi ke sudut tunggu itu dan berharap, ketika aku pulang dan melintasi kejamnya dunia malam, kau kan menggandeng tanganku, tersenyum padaku dan berkata
"Kuatkan hatimu cucuku..."

Mengenang 12 tahun Mbah Kung pergi dari sisiku dan hidup damai di langit ketiga...
19 Agustus 1999-19 Agustus 2011...

-My Eternal Love-

Jakarta, 19 Agustus 2011

ASTRI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Polite comment and critic only