Rabu, 17 Agustus 2011

KOPI

Analogiku mungkin kelihatan begitu dangkal dan terkesan meremehkanmu. Tapi tahukah kau bahwa kopi adalah candu paling sakti untuk membunuh semua perasaan jemuku. Setiap bilangan hari diisi oleh dua cangkir kopi, dua kali sehari aku selalu menantikan waktu untuk bertemu denganmu, meski hanya sebagai bentuk metafora antara dirimu dan kopi.

Kau dan kopi memberi fatamorgana yang tidak bisa dilihat oleh mata telanjang orang lain, hanya aku dan indera keenamku yang mampu mendeskripsikan dan memandangmu dari sudut hati. Orang menganggap semua yang terlihat hitam selalu gelap, dan yang berwarna putih selalu terang. Hiraukan mereka karna mereka tak pernah tahu bahwa kalian menyimpan sejuta warna dengan sensasi yang berbeda. Tanyakan padaku maka akan kuceritakan warna-warnimu dalam secangkir kopiku.



Secangkir kopi mampu membuatku rindu setengah mati ketika aku tak memiliki waktu untuk menikmatinya saat dinginnya sore datang. Memang rindu adalah salah satu efek candu yang begitu menggangguku. Kau mungkin saja tersenyum, tanda kemenanganmu, karena berhasil mempermainkan aku dalam perasaan itu. Saat perasaan itu datang dan aku tak berhasil menemukanmu, kau pasti semakin puas karena mengetahui aku akan melakukan segalanya untuk bertemu dengan hangatnya uap dan aromamu.

Tidakkah kau ingin bertanya padaku mengapa aku lebih memilih kecanduan satu cangkir kopi seharga seribu rupiah dibanding dengan sekotak rokok senilai sepuluh ribu rupiah? Bilangan angka tidak mampu memberi alasan tepat mengapa aku telah jatuh hati padamu. Sekalipun kau berharga sepuluh kali lebih murah, aku tidak menemukan sensasi rasa deg-degan yang membuat seluruh tubuhku merah merona ketika aku menghisap batangan-batangan rokok. Sensasi itulah yang kucari-cari, dan hanya secangkir kopi yang mampu memberiku titik tertinggi kepuasan lahiriah dan batiniah.


Kecewaku datang ketika perlahan-lahan isi cangkirku menyusut, padahal rasa kangen itu belum terobati sepenuhnya. Sedang aku harus menahan perasaan menggebu untuk selalu bersua denganmu pagi dan sore, siang dan malam berikutnya. Aku menyesal mengetahui bahwa di bungkusanmu tertera anjuran “2 sachet cukup untuk menemani hari Anda”. Hingga aku mengutuk takdir karena pernah mengenalmu hingga aku ketagihan seperti sekarang dan tidak lupa memaki perusahaan kopi karena membatasi waktuku menemui dirimu dengan anjuran yang tidak penting.

Jika kesempatan itu memang sangat terbatas untuk kudapatkan, jangan cepat-cepat habis meninggalkan aku dalam kekosongan dan kehampaan ampas hitam yang kau tinggalkan di dasar cangkirku yang dangkal. Temani aku beberapa detik lebih lama dengan perasaan-perasaan bahagia yang kau beri ketika aku merasakan setiap tegukan dirimu yang manis, sekaligus pahit. Ketika kita bersanding berhadap-hadapan, bertatap mata dan bercerita dari hati.



Aku yang sendiri, dan dirimu sebagai kopi, teman kesendirian.

NB : Ditulis untuk seseorang yang setahun terakhir selalu membawa crayon berwarna-warni untuk mewarnai pemandangan indah di lembaran buku gambarku.

Malang, 19 November 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Polite comment and critic only