Kamis, 25 April 2013

Memaknai Kebahagiaan dan Kesuksesan


Memaknai Kebahagiaan dan Kesuksesan

"Dunia itu adalah neraka bagi orang beriman, dan surga bagi orang kafir"
(Rasulullah SAW)
Sejak menikah, aku (sekarang ganti kata gantinya “aku” ya biar gak terkesan formal banget gitu? Hehe...) mengalami apa yang disebut post-power syndrome, menurutku sih. Sebelum menikah aku mengelola bisnis, ketemu customer, nyari karyawan, promosi, pergi kesana kesini, masuk komunitas dan sebagainya. Sejak pindah ke Surabaya, pekerjaan utama adalah menjadi istri. Buat orang yang biasa bekerja lari sana sini dan bebas mau tidur kapanpun aku mau, hahaha... segala sesuatu yang lekat dengan AFEX masih menjadi dilemma tersendiri di saat ini. 

Bisnis ini ibarat jati diri, AFEX adalah status sosial bagiku, bahkan lebih dari sekedar bisnis. Kenapa? Aku butuh pengakuan, aku butuh berkarya karena aku bukan karyawan perusahaan A, B, C. Tidak bekerja di perusahaan tertentu, dalam kacamata masyarakat umum, aku ini adalah pengangguran. Oleh sebab itu, aku butuh AFEX sebagai jati diri atau identitasku. 

Setahun aku mengelola bisnis ini, dengan pasang surutnya. Menurutku, sebagai pengusaha pemula, aku cukup berhasil di tahun pertama bisa mencetak omset delapan digit mendekati sembilan digit dalam setahunnya. Sombong banget ya? Hemm bukan maksud itu aku menuliskan hal ini. Dari sembilan digit menjadi satu digit dimana angka itu adalah nol, pasti, tidak hanya aku-siapapun aja, pasti merasakan kemerosotan dalam hidupku. Akhirnya aku, beberapa saat terakhir mengalami kekeringan batin, sebuah perasaan tidak puas dan tidak bahagia yang aku sendiri tidak tahu mengapa.

“Kejayaan masa laluku, yang lekat dengan pencapaian materi itu, malah menjadi pembatas keberanianku untuk memulai dan mencari masa depan dari titik nol”

Maklumilah sudut pandangku, di dunia ini, tidak ada satu orangpun yang mau jatuh. Dari posisi sukses bergelimang harta, jadi fakir miskin. Dari posisi seorang Direktur Utama perusahaan, jadi Staf lagi. Tidak ada orang yang suka memulai, karena bagian awal itu biasanya bagian paling sulit. Termasuk aku, pencapaian masa lalu itu ibarat momok, mimpi buruk di masa kini orang sepertiku. Dari hidup yang serba dinamis, sekarang harus “start from the scratch”.

Saat ini, aku mencari makna, berhari-hari aku mencari makna itu. Tentang kesuksesan, tentang kebahagiaan.
Kenapa keberhasilan di masa lalu justru menjadi belenggu saat ini? Apakah pencapaian materi itu membuatku bahagia? Sukses itu seperti apa sih sebenarnya? Apa seperti sahabat-sahabatku yang mencari rejeki di tengah hutan beton ibukota? Atau seperti sahabat kesayanganku yang selalu merasa bahagia karena kecukupan rejekinya? Bahagia itu seperti apa sih? Kenapa meski aku berkecukupan aku nggak bahagia sekarang?

Masyarakat, memiliki standar umum (entahlah apakah ini stereotip), bahwa kesuksesan itu erat hubungannya dengan uang/aset/materi/karir/gaya hidup. Tidak munafiklah, orang berlomba-lomba pengen sukses, pengen kaya, pengen apa sih mereka? Mobil mewah kan? Rumah mewah kan? Kebebasan finansial kan? Jalan-jalan keluar negeri kan? Pasti jawaban akan didominasi dengan kata YA. Secara umum, masyarakat mengartikan kesuksesan itu kalau kita punya uang dan bahagia, serta kita memiliki posisi tertentu dalam sebuah status sosial. (Bahkan aku tidak mau naif, hasrat terhadap hal-hal itu masih ada dalam hatiku)

Lihatlah seminar-seminar yang digelar dimana-mana dengan pembicara para orang sukses dan pengusaha, orang-orang berduyun-duyun datang dengan motivasi apa? Karena mereka pengen meniru ke-SUKSES-an dan KAYA. Kaya seperti pembicara seminar itu. Punya perusahaan, punya kemewahan duniawi, punya kemapanan, kebebasan waktu, uang, aset dan semua hal yang bersifat material. Kenapa aku tahu? Karena aku sering jadi peserta seminar, dan motivasiku sama seperti mereka, pengen SUKSES, pengen KAYA, pengen HARTA, pengen jadi PENGUSAHA.

Kata orang-orang, kita harus kaya, biar bisa menolong orang lain. Bener, itu jawaban bener sekali. Allah pun nyuruh kita menjemput rejeki bukan menunggu rejeki dari-Nya, menyuruh kita jadi orang kaya agar bisa bermanfaat buat sesama. Aku menulis tulisan ini bukan karena aku tidak ingin/anti jadi sukses dan kaya, bukan, aku ingin menggali makna dari kesuksesan dan kebahagiaan itu, dari kacamataku sendiri dan beberapa sumber lain.

“Aku melihat seorang anak, dia selalu merengek minta barang-barang mewah, branded pada orang tuanya. Orang tuanya termasuk berlebih rejekinya, hanya saja mereka hendak pensiun. Si anak ini sejak kecil tidak pernah kekurangan, rumah punya, kamar yang nyaman, mobil untuk ditunggangi sendiri, ponsel, komputer, bahkan dari mataku aku kagum betapa beruntungnya jadi dia” 

(ternyata kaya dan tidak pernah kekurangan malah membuat hati si anak tidak pernah berkecukupan, punya rumah minta istana, punya mobil minta pesawat. Setelah ditarik suatu kesimpulan dari fakta-fakta yang ada, ternyata dia bersekolah di sekolah swasta yang notabene berisi anak-anak orang kaya yang gaya hidupnya high class)

“Aku punya seorang teman baik, sekarang dia bekerja di ibukota. Arogan mungkin sudah menjadi bawaan dia sejak dulu, hanya saja kadarnya belum tinggi. Sejak dia bekerja jauh kemudian kita berkomunikasi lagi akhir-akhir ini, aku merasa tidak mengenal dia lagi. Dia kehilangan selera humornya, jadi sok kebarat-baratan, suka pamer, yah anggap saja bibit arogansi + kehidupan ala ibukota + uang = kekeringan batin. Kasian sekali pikirku, orang yang berkecukupan rejeki seharusnya memiliki kelebihan kegembiraan untuk dibagikan pada orang lain, meski kegembiraan itu hanya berupa humor bukan uang.”

(Hidup berubah, manusia berubah. Ada yang tetap rendah hati, ada yang makin arogan karena merasa lebih sukses dari yang lain. Budeku bilang, “manusia kemana-mana nggembol (bawa) tahi, maka jadi manusia itu gak berhak sombong”)

Akhirnya, untuk menemukan kembali makna itu dari sudut pandang orang lain, aku bertanya ke seorang sahabat baikku semalam, via BBM. Tentang bagaimana dia memaknai kesuksesan dan kebahagiaan itu :

“Bagiku, kesuksesan itu soal nilai. Nah disinilah standar orang bisa beda-beda. Ada yang beranggapan hidupnya bernilai karena memiliki banyak uang/banyak aset/banyak kerjaan/banyak istri mungkin. Kesuksesan juga bisa jadi stereotip karena memang masyarakat itu cenderung menyepakati nilai-nilai yang berlaku umum. Dan kamu tahu toh apa yang dipandang masyarakat kebanyakan? Jadi gak usah kaget ketika menemui kondisi seperti teman-teman kita sekarang (arogan : maksud dia)

Kalo aku, kesuksesan itu ketika dalam hidup kamu bisa menemukan “makna” dalam artian “kamu hidup dengan hati”. Bagaimana kamu membagi hidupmu dengan orang lain tanpa embel-embel atau motif apapun, hanya karena satu kesadaran : manusia memang butuh berbagi dan saling peduli. 

Itulah kenapa dari sejak kuliah aku belajar gimana berkomunitas dan terlibat aktivitas-aktivitas sosial. Kita mau cari apa sih dalam hidup? Seberapa banyak yang kita butuhkan? Bagiku, orang-orang yang pintar menyikapi hidup itu justru mereka yang bisa membatasi hasrat-hasrat individualnya, agar tidak jadi serakah, tidak sibuk dan tidak lupa bahwa di luar hidup kita sendiri ada hidup orang-orang yang membutuhkan empati kita.

Setiap orang mungkin bisa jadi kaya, tapi hanya sedikit yang beruntung untuk memahami hidup yang bermakna.”

Menilik juga dari sebuah tulisan yang menggugah hatiku, yang kubaca tadi pagi. Titik Nol – Agustinus Wibowo (halaman 158-159)

“Aku teringat akan sebuah puisi kuno Sansekerta yang bunyinya kira-kira begini :
Dari sekian banyak ternakmu, kau hanya butuh dua gelas susu
Dari sedemikian luas tanahmu, hanya segenggam gandum
Dari sebegitu besar rumahmu, hanya separuh kasur
Wahai manusia, apalagi yang masih kautuntut?

Kita yang hidup di alam modern sering kali berbangga dengan pencapaian, dengan gedung-gedung tinggi, rumah mewah, kekayaan, nilai-nilai sempurna, kekuasaan, nama besar. Kita anggap orang-orang yang melepaskan semuanya untuk menggelandang sebagai gila atau kurang waras. Mungkin, justru kitalah yang gila. Kita percaya bahwa semua yang kita cari itu akan membawa kebahagiaan. Kita terobsesi, kita menderita, dibelenggu keserakahan yang tak habis-habis, tapi tidak ketemu juga kebahagiaan sejati. Barang yang sama, yang hari ini membawa bahagia, mungkin besok malah membawa nestapa. Dan bukankah hampir semua derita di dunia berawal dari nafsu serakah? Semakin kita terikat pada harta, semakin pula kita merasa terlalu miskin bahkan untuk membeli kemerdekaan kita sendiri. Semakin kita terjerat, terpenjara. Orang kaya itu bukan yang memiliki banyak harta. Orang kaya itu adalah mereka yang berpuas, terbebas dari belenggu keduniawi”

Sahabatku dan Agustinus Wibowa memiliki benang merah dalam hal memaknai kesuksesan, kebahagiaan : orang kaya itu dinilai bukan dari berapa digit harta yang dimilikinya, namun mereka adalah orang-orang yang bisa membatasi nafsu duniawi.
 

Kemudian aku tahu apa yang membuatku tidak bahagia saat ini. Aku terbelenggu dan melekatkan diri pada pencapaian-pencapaian masa laluku bersama AFEX, sehingga di saat ini ketika aku tidak memilikinya, aku merasa sedih, tidak berguna, tidak percaya diri dan bukan siapa-siapa. Kedua, pencapaian bisnis dalam setahun yang mencapai angka 9 digit lah yang membuatku tidak berkecukupan hati atas semua materi yang kumiliki sekarang. Aku merasa aku bisa memperoleh lebih banyak materi jika aku sekarang masih mengelola AFEX (tamak deh aku...) dan melupakan satu esensi penting dalam hidupku :

Ketika aku sudah menikah, aku harus menciptakan nilai-nilai kebahagiaan dan kesuksesan yang sejalan dengan apa yang diinginkan oleh Fahmi. Jika nilai dari kacamataku tidak sama dengan dia, maka kami pada akhirnya akan berjalan seperti besi-besi rel kereta api. Sejajar tapi nggak akan pernah nyambung.Kesuksesan dan kebahagiaan itu harusnya kami rasakan bersama-sama, sekarang, nanti dan seterusnya.

Akhir kata, aku ingin suatu hari nanti bisa melepaskan semua hal yang melekat dalam diriku. Entahlah apakah itu status sosial, materi, atau pencapaian-pencapaian lainnya dalam hidupku. Aku tidak akan bekerja untuk uang. Jikalau aku berbisnis, aku tidak berbisnis untuk mencari uang. Aku akan terus mencari makna dalam setiap fase kehidupanku, agar suatu hari aku bisa menemukan satu hal yang tak tersentuh tapi bisa aku rasakan : kebahagiaan. 

Dan kebahagiaan yang saat ini kurasakan harusnya sangat sederhana,
bisa melakukan apa yang aku sukai (masak) dan bisa bersama orang-orang yang kucintai.

“Ibukota itu memang surga, tapi nirwana para kapitalis materialis lama-lama membuatku lelah, bosan, dan muak. Akhirnya aku tetap mengasihani diri sendiri, karena ritual hidup haus materi tidak membuat hatiku berkecukupan” (Astri – Malang, 25 April 2013)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Polite comment and critic only