Memaknai
Kebahagiaan dan Kesuksesan
"Dunia itu adalah neraka bagi orang beriman, dan surga bagi orang kafir"
(Rasulullah SAW)
(Rasulullah SAW)
Sejak menikah, aku (sekarang
ganti kata gantinya “aku” ya biar gak terkesan formal banget gitu? Hehe...)
mengalami apa yang disebut post-power syndrome, menurutku sih. Sebelum menikah
aku mengelola bisnis, ketemu customer, nyari karyawan, promosi, pergi kesana
kesini, masuk komunitas dan sebagainya. Sejak pindah ke Surabaya, pekerjaan
utama adalah menjadi istri. Buat orang yang biasa bekerja lari sana sini dan bebas mau
tidur kapanpun aku mau, hahaha... segala sesuatu yang lekat dengan AFEX masih
menjadi dilemma tersendiri di saat ini.
Bisnis ini ibarat jati diri, AFEX
adalah status sosial bagiku, bahkan lebih dari sekedar bisnis. Kenapa? Aku
butuh pengakuan, aku butuh berkarya karena aku bukan karyawan perusahaan A, B,
C. Tidak bekerja di perusahaan tertentu, dalam kacamata masyarakat umum, aku
ini adalah pengangguran. Oleh sebab itu, aku butuh AFEX sebagai jati diri atau
identitasku.
Setahun aku mengelola bisnis ini,
dengan pasang surutnya. Menurutku, sebagai pengusaha pemula, aku cukup berhasil
di tahun pertama bisa mencetak omset delapan digit mendekati sembilan digit
dalam setahunnya. Sombong banget ya? Hemm bukan maksud itu aku menuliskan hal
ini. Dari sembilan digit menjadi satu digit dimana angka itu adalah nol, pasti,
tidak hanya aku-siapapun aja, pasti merasakan kemerosotan dalam hidupku. Akhirnya aku,
beberapa saat terakhir mengalami kekeringan batin, sebuah perasaan tidak puas dan tidak bahagia yang aku sendiri tidak tahu mengapa.
“Kejayaan masa laluku, yang lekat dengan pencapaian materi itu, malah
menjadi pembatas keberanianku untuk memulai dan mencari masa depan dari titik
nol”
Maklumilah sudut pandangku, di
dunia ini, tidak ada satu orangpun yang mau jatuh. Dari posisi sukses bergelimang
harta, jadi fakir miskin. Dari posisi seorang Direktur Utama perusahaan, jadi
Staf lagi. Tidak ada orang yang suka memulai, karena bagian awal itu biasanya
bagian paling sulit. Termasuk aku, pencapaian masa lalu itu ibarat momok, mimpi
buruk di masa kini orang sepertiku. Dari hidup yang serba dinamis, sekarang
harus “start from the scratch”.
Saat ini, aku mencari makna,
berhari-hari aku mencari makna itu. Tentang kesuksesan, tentang kebahagiaan.
Kenapa keberhasilan di masa lalu
justru menjadi belenggu saat ini? Apakah pencapaian materi itu membuatku
bahagia? Sukses itu seperti apa sih sebenarnya? Apa seperti sahabat-sahabatku
yang mencari rejeki di tengah hutan beton ibukota? Atau seperti sahabat
kesayanganku yang selalu merasa bahagia karena kecukupan rejekinya? Bahagia itu
seperti apa sih? Kenapa meski aku berkecukupan aku nggak bahagia sekarang?
Masyarakat, memiliki standar umum
(entahlah apakah ini stereotip), bahwa kesuksesan itu erat hubungannya dengan
uang/aset/materi/karir/gaya hidup. Tidak munafiklah, orang berlomba-lomba
pengen sukses, pengen kaya, pengen apa sih mereka? Mobil mewah kan? Rumah mewah
kan? Kebebasan finansial kan? Jalan-jalan keluar negeri kan? Pasti jawaban akan
didominasi dengan kata YA. Secara umum, masyarakat mengartikan kesuksesan itu kalau kita punya uang dan bahagia, serta kita memiliki posisi tertentu dalam sebuah status sosial. (Bahkan aku tidak mau naif, hasrat terhadap hal-hal
itu masih ada dalam hatiku)
Lihatlah seminar-seminar yang
digelar dimana-mana dengan pembicara para orang sukses dan pengusaha,
orang-orang berduyun-duyun datang dengan motivasi apa? Karena mereka pengen meniru
ke-SUKSES-an dan KAYA. Kaya seperti pembicara seminar itu. Punya perusahaan,
punya kemewahan duniawi, punya kemapanan, kebebasan waktu, uang, aset dan semua
hal yang bersifat material. Kenapa aku tahu? Karena aku sering jadi peserta
seminar, dan motivasiku sama seperti mereka, pengen SUKSES, pengen KAYA, pengen
HARTA, pengen jadi PENGUSAHA.
Kata orang-orang, kita harus
kaya, biar bisa menolong orang lain. Bener, itu jawaban bener sekali. Allah pun
nyuruh kita menjemput rejeki bukan menunggu rejeki dari-Nya, menyuruh kita jadi
orang kaya agar bisa bermanfaat buat sesama. Aku menulis tulisan ini bukan
karena aku tidak ingin/anti jadi sukses dan kaya, bukan, aku ingin menggali
makna dari kesuksesan dan kebahagiaan itu, dari kacamataku sendiri dan beberapa sumber lain.
“Aku melihat seorang anak, dia selalu merengek minta barang-barang
mewah, branded pada orang tuanya. Orang tuanya termasuk berlebih rejekinya,
hanya saja mereka hendak pensiun. Si anak ini sejak kecil tidak pernah
kekurangan, rumah punya, kamar yang nyaman, mobil untuk ditunggangi sendiri,
ponsel, komputer, bahkan dari mataku aku kagum betapa beruntungnya jadi dia”
(ternyata kaya dan tidak pernah kekurangan
malah membuat hati si anak tidak pernah berkecukupan, punya rumah minta istana,
punya mobil minta pesawat. Setelah ditarik suatu kesimpulan dari fakta-fakta
yang ada, ternyata dia bersekolah di sekolah swasta yang notabene berisi
anak-anak orang kaya yang gaya hidupnya high class)
“Aku punya seorang teman baik, sekarang dia bekerja di ibukota. Arogan
mungkin sudah menjadi bawaan dia sejak dulu, hanya saja kadarnya belum
tinggi. Sejak dia bekerja jauh kemudian kita berkomunikasi lagi akhir-akhir
ini, aku merasa tidak mengenal dia lagi. Dia kehilangan selera humornya, jadi sok
kebarat-baratan, suka pamer, yah anggap saja bibit arogansi + kehidupan ala
ibukota + uang = kekeringan batin. Kasian sekali pikirku, orang yang
berkecukupan rejeki seharusnya memiliki kelebihan kegembiraan untuk dibagikan
pada orang lain, meski kegembiraan itu hanya berupa humor bukan uang.”
(Hidup berubah, manusia berubah.
Ada yang tetap rendah hati, ada yang makin arogan karena merasa lebih sukses
dari yang lain. Budeku bilang, “manusia
kemana-mana nggembol (bawa) tahi, maka jadi manusia itu gak berhak sombong”)
Akhirnya, untuk menemukan kembali
makna itu dari sudut pandang orang lain, aku bertanya ke seorang sahabat baikku
semalam, via BBM. Tentang bagaimana dia memaknai kesuksesan dan kebahagiaan itu
:
“Bagiku, kesuksesan itu soal nilai. Nah disinilah standar orang bisa
beda-beda. Ada yang beranggapan hidupnya bernilai karena memiliki banyak
uang/banyak aset/banyak kerjaan/banyak istri mungkin. Kesuksesan juga bisa jadi
stereotip karena memang masyarakat itu cenderung menyepakati nilai-nilai yang
berlaku umum. Dan kamu tahu toh apa yang dipandang masyarakat kebanyakan? Jadi
gak usah kaget ketika menemui kondisi seperti teman-teman kita sekarang (arogan
: maksud dia)
Kalo aku, kesuksesan itu ketika dalam hidup kamu bisa menemukan “makna”
dalam artian “kamu hidup dengan hati”. Bagaimana kamu membagi hidupmu dengan
orang lain tanpa embel-embel atau motif apapun, hanya karena satu kesadaran :
manusia memang butuh berbagi dan saling peduli.
Itulah kenapa dari sejak kuliah aku belajar gimana berkomunitas dan
terlibat aktivitas-aktivitas sosial. Kita mau cari apa sih dalam hidup?
Seberapa banyak yang kita butuhkan? Bagiku, orang-orang yang pintar menyikapi
hidup itu justru mereka yang bisa membatasi hasrat-hasrat individualnya, agar
tidak jadi serakah, tidak sibuk dan tidak lupa bahwa di luar hidup kita sendiri
ada hidup orang-orang yang membutuhkan empati kita.
Setiap orang mungkin bisa jadi kaya, tapi hanya sedikit yang beruntung
untuk memahami hidup yang bermakna.”
Menilik juga dari sebuah tulisan
yang menggugah hatiku, yang kubaca tadi pagi. Titik Nol – Agustinus Wibowo
(halaman 158-159)
“Aku teringat akan sebuah puisi kuno Sansekerta yang bunyinya kira-kira
begini :
Dari sekian banyak ternakmu, kau hanya butuh dua gelas susu
Dari sedemikian luas tanahmu, hanya segenggam gandum
Dari sebegitu besar rumahmu, hanya separuh kasur
Wahai manusia, apalagi yang masih kautuntut?
Kita yang hidup di alam modern sering kali berbangga dengan pencapaian,
dengan gedung-gedung tinggi, rumah mewah, kekayaan, nilai-nilai sempurna,
kekuasaan, nama besar. Kita anggap orang-orang yang melepaskan semuanya untuk
menggelandang sebagai gila atau kurang waras. Mungkin, justru kitalah yang gila.
Kita percaya bahwa semua yang kita cari itu akan membawa kebahagiaan. Kita
terobsesi, kita menderita, dibelenggu keserakahan yang tak habis-habis, tapi
tidak ketemu juga kebahagiaan sejati. Barang yang sama, yang hari ini membawa
bahagia, mungkin besok malah membawa nestapa. Dan bukankah hampir semua derita
di dunia berawal dari nafsu serakah? Semakin kita terikat pada harta, semakin
pula kita merasa terlalu miskin bahkan untuk membeli kemerdekaan kita sendiri.
Semakin kita terjerat, terpenjara. Orang kaya itu bukan yang memiliki banyak
harta. Orang kaya itu adalah mereka yang berpuas, terbebas dari belenggu
keduniawi”
Sahabatku dan Agustinus Wibowa
memiliki benang merah dalam hal memaknai kesuksesan, kebahagiaan : orang kaya
itu dinilai bukan dari berapa digit harta yang dimilikinya, namun mereka adalah orang-orang yang bisa membatasi nafsu duniawi.
Kemudian aku tahu apa yang
membuatku tidak bahagia saat ini. Aku terbelenggu dan melekatkan diri pada
pencapaian-pencapaian masa laluku bersama AFEX, sehingga di saat ini ketika aku
tidak memilikinya, aku merasa sedih, tidak berguna, tidak percaya diri dan
bukan siapa-siapa. Kedua, pencapaian bisnis dalam setahun yang mencapai angka 9
digit lah yang membuatku tidak berkecukupan hati atas semua materi yang
kumiliki sekarang. Aku merasa aku bisa memperoleh lebih banyak materi jika aku
sekarang masih mengelola AFEX (tamak deh aku...) dan melupakan satu esensi
penting dalam hidupku :
Ketika aku sudah menikah, aku harus menciptakan nilai-nilai kebahagiaan
dan kesuksesan yang sejalan dengan apa yang diinginkan oleh Fahmi. Jika nilai
dari kacamataku tidak sama dengan dia, maka kami pada akhirnya akan berjalan
seperti besi-besi rel kereta api. Sejajar tapi nggak akan pernah nyambung.Kesuksesan
dan kebahagiaan itu harusnya kami rasakan bersama-sama, sekarang, nanti dan seterusnya.
Akhir kata, aku ingin suatu hari
nanti bisa melepaskan semua hal yang melekat dalam diriku. Entahlah apakah itu
status sosial, materi, atau pencapaian-pencapaian lainnya dalam hidupku. Aku
tidak akan bekerja untuk uang. Jikalau aku berbisnis, aku tidak berbisnis untuk
mencari uang. Aku akan terus mencari makna dalam setiap fase kehidupanku, agar
suatu hari aku bisa menemukan satu hal yang tak tersentuh tapi bisa aku rasakan
: kebahagiaan.
Dan kebahagiaan yang
saat ini kurasakan harusnya sangat sederhana,
bisa melakukan apa
yang aku sukai (masak) dan bisa bersama orang-orang yang kucintai.
“Ibukota itu memang surga, tapi nirwana para kapitalis materialis
lama-lama membuatku lelah, bosan, dan muak. Akhirnya aku tetap mengasihani diri
sendiri, karena ritual hidup haus materi tidak membuat hatiku berkecukupan”
(Astri – Malang, 25 April 2013)