Pada suatu momen penantian, aku membunuh waktu bersama pepohonan di rimbunnya hutan. Kubiarkan sang surya meredup ketika awan hitam melintas didepannya, pagi itu memang tidak seramah biasanya. Angin juga serasa menusuk-nusuk kulit, menambah dinginnya hatiku. Mungkin saat itulah yang disebut orang-orang sebagai titik kehampaan. Ketika logika dan hatiku sama-sama tak mau tahu menahu, berjalan seperti besi-besi yang menyambung rel kereta api, selalu sejajar dan tidak menemukan titik pertemuan.
Tidak kusangka hidupku bagaikan seekor burung di dalam sangkarnya, ketika aku berhasil melepaskan diri dari satu sangkar, seseorang kembali menangkapku dan meletakkanku pada sangkar yang baru. Entah lebih baik atau mungkin lebih mengenaskan, berulang-ulang seperti itu dan begitu menjemukan. Hari yang kuanggap pentasbihan diriku sebagai manusia yang bebas ternyata tidak seindah yang kubayang-bayangkan. Kebebasan pada akhirnya juga membawaku kepada sel-sel penjara kehidupan lainnya.
Hatiku dahulu terlalu sempit menilai, bahwa kebebasan kuperoleh ketika aku bisa membeli hiburan duniawi yang semu, benda-benda tak penting yang kubeli hanya karena keangkuhan gengsi, dan memiliki semua hal dari godaan keserakahan nafsuku sendiri. Kebebasan adalah memiliki apa yang aku inginkan, dan memiliki semuanya membutuhkan materi. Tapi ternyata materi tidak mampu memberikan kebebasan hakiki, melainkan hanya kebahagiaan palsu.
Kebebasan adalah sesuatu yang selalu kulihat dengan mata yang buta, eksistensinya ada tapi tak dapat teraih oleh jari-jariku. Hidupku selalu dibayangi oleh rezim kediktatoran orang-orang yang menginginkan balas jasa. Mereka memberikannya dengan menahan kakiku untuk beranjak pergi, mereka membebaskan tetapi memasung hak-hakku dengan rasionalitas yang menurut mereka paling masuk akal. Mereka ingin membesarkanku tetapi mengkerdilkan diriku dengan belenggu-belenggu yang mereka ciptakan.
Aku tak tahu apa yang mereka inginkan dari orang sepertiku, begitu pula mereka tak pernah memahamiku. Kubiarkan mereka merenggut apa yang seharusnya kumiliki dan menuntutku waktu demi waktu untuk mencintainya. Bukankah mencintai juga wujud kebebasan? Sehingga akupun berhak untuk tidak mencintai jika cinta itu tidak membebaskanku. Keberadaan mereka adalah perangkapku, penghalangku untuk mencari dunia yang kuimpikan. Dunia yang membebaskanku dari tuntutan untuk menjadi budak penurut kehendak sang majikan.
Ketidakbebasan ini bagaikan sel-sel kanker yang membunuhku, perlahan-lahan tapi pasti. Akhirnya akan berujung pada kematian. Kuyakin mati lebih mudah dibandingkan menjalani hidup tanpa pilihan. Ketika aku mati aku tidak akan menangis lagi, aku tidak akan berontak, dan aku tidak perlu berpura-pura tersenyum diatas penderitaan yang kusembunyikan. Siapa peduli pada kehidupanku ketika aku hanya berwujud jenazah tanpa ruh yang terkubur dalam tanah. Mereka hanya akan mengenangku sebagai seorang pemberontak yang selalu memohon-mohon untuk dilepaskan
Ketakutan akhirnya mengurungku pada satu wilayah dimana hanya ada tembok tanpa pintu. Untuk membebaskan diri kubutuhkan energi yang menghancurkan batasan-batasan. Akhirnya aku pun membiarkan egoku berbicara, siapa yang lebih berhak atas diriku selain diriku dan Tuhan? Kubiarkan kebebasan ini membawaku kemanapun ia berkehendak, akupun tidak peduli siapa yang akan tersakiti atau akan kehilangan diriku, karena sejatinya mereka pun hanya membutuhkan diriku sebatas diriku yang palsu.