Mumpung mau 31 Maret, pelaporan SPT tahunan sedang jadi topik yang hangat buat para wajib pajak di negeri ini. Terutama buat para pengusaha UMKM yang statusnya masih sebagai perusahaan perseorangan seperti saya.
Sejak Juli 2013, berlaku pengenaan pajak 1% dari omzet sebagaimana yang disebutkan oleh Dirjen Pajak Fuad Rahmany dalam opini yang ditulis Edhi Setiawan dalam kompasiana.com :
Direktur Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) Fuad Rahmany menyatakan akan memberlakukan pajak kepada usaha kecil dan menengah (UKM). Pajak yang dikenakan sebesar satu persen dari total omzet setahun.”Yang punya usaha tetap akan dikenakan pajak penghasilan sebesar satu persen dari omzet,” ucap Fuad saat ditemui di Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin (7/1/2013).
Satu persen, angka yang cukup sederhana, apalagi jika dibandingkan dengan PPN 10% yang saya (dan semua rakyat lainnya) bayar ketika makan di restoran, atau ketika saya beli bahan baku catering di distributor. 1% dari Rp 1.000 hanyalah Rp 10 sedangkan untuk PPN, kita harus mengeluarkan Rp 100. Kelihatan sedikit bukan? Tapi mari kita kaji lebih dalam tentang kebijakan Dirjen Pajak mengenai pemberlakuan pajak 1% dari omzet untuk UMKM.
Omzet adalah seluruh pendapatan kotor dari sebuah perusahaan, catat. Omzet diperoleh dari penjualan barang/jasa perusahaan kepada customer. Setelah dikurangi dengan beban-beban atau biaya operasional lainnya, maka omzet akan menghasilkan laba kotor. Kemudian setelah dikurangi dengan pajak, baru akan menghasilkan laba bersih.
Masalahnya, tidak semua pengusaha UMKM memiliki skala produksi besar dengan margin yang besar pula. Kami sangat sensitif dengan pergerakan harga, mulai dari tarif BBM, TDL, harga bahan baku, upah minimum tenaga kerja. Kebanyakan, pengusaha UMKM mengambil margin yang kecil, kami hanya mengandalkan faktor kali dari produk yang kami jual. Semakin besar kuantitas produk yang dijual, barulah kami bisa menikmati laba yang lumayan.
Sebagai ilustrasi, di usaha catering saya, harga pokok produksi kami berkisar antara 70-80%, artinya sebelum dikurangi dengan biaya operasional (BBM, TDL, PDAM dll), kami memperoleh laba sebelum biaya operasional lain sebesar 30%. Sedangkan untuk biaya operasional bisa berkisar antara 10-15%. Dengan penjualan sebesar 1 juta misalkan, laba bersih sebelum pajak yang kami peroleh berkisar pada angka Rp 200.000 (ekspektasi paling tinggi). Apabila dipotong pajak 1%, kami harus membayar Rp 10.000. Kecilkan? Kecil toh cuma Rp 10.000
Tapi... ada usaha yang memiliki volume kecil dengan margin laba besar, dan ada juga usaha yang memiliki volume besar dengan margin laba yang kecil dan sangat sensitif terhadap nilai uang seperti saya. Disinilah letak ketimpangan kebijakan 1% dari omzet yang diberlakukan oleh pemerintah.
Ilustrasinya adalah, misalkan omzet perusahaan adalah Rp 1.000.000, dia memiliki COGS sebesar 50% dan biaya operasional 15% sehingga margin labanya adalah Rp 350.000 dan perusahaan tersebut harus membayar jumlah yang sama seperti ilustrasi di usaha catering saya di penjelasan sebelumnya yaitu Rp 10.000.
Orang yang margin labanya Rp 350.000 dan Rp 200.000 akan membayar jumlah pajak yang sama yaitu Rp 10.000.
Mungkin ilustrasi saya kelihatan sederhana, tapi bayangkan jika penghasilan saya dan perusahaan pembanding tersebut sama-sama 100 juta setahun, maka dengan laba bersih saya sebesar Rp 20.000.000 saya harus membayar pajak Rp 1.000.000 sedangkan perusahaan pembanding memiliki laba bersih sebelum pajak senilai Rp 35.000.000 dan membayar pajak sebesar yang saya bayarkan.
Levita Supit selaku ketua perhimpunan waralaba dan lisensi Indonesia berkata, sebagaimana yang saya kutip dari kontan.co.id :
pengusaha UMKM yang paling terpukul adalah sektor usaha yang memiliki margin bersih paling kecil. Misalnya, pengusaha ritel yang mengambil margin bersih sekitar 3%-4% dari omzet. Kini, pengusaha golongan ini hanya bisa menikmati margin bersih kurang dari 3% gara-gara pajak memungut 1% dari omzet.
Sebenarnya hal ini tidak menjadi alasan bagi kami pelaku usaha kecil menengah untuk menolak membayarkan pajak sebesar 1% dari omzet. Namun, kami berharap keadilan dan timbal balik atas kewajiban kami dalam membayarkan pajak ke negara. Melanjutkan opini Edhi Setiawan dalam kompasiana.com, bahwa ekspektasi pelaku UMKM sebagai wajib pajak adalah :
- Menikmati infrastruktur yang baik sehingga biaya menjadi lebih efisien,
- Mendapatkan pelayanan birokrasi yang ramah dan tidak berbelit-belit (khususnya dalam perijinan usaha dan lain-lain yang memakan biaya dan waktu yang cukup lama)
- Menikmati kebijakan yang masuk akal dan memenuhi rasa keadilan masyarakat
- Yakin terhadap kesungguhan komitmen terhadap pemberantasan korupsi
Yang harus menjadi catatan, kami sebagai pelaku UMKM tidak hanya membayar pajak 1% dari omzet lho, bahkan seperti usaha-usaha warung atau restoran masih dikenakan lagi pajak daerah.
Usaha mikro kecil menengah adalah sektor yang intensif menyerap tenaga kerja, sehingga berperan serta besar dalam mengurangi angka pengangguran dan meningkatkan perekonomian daerah. Apabila UMKM tidak dapat mengambangkan diri, maka gembar gembor bahwa pemerintah mendukung tumbuhnya UMKM hanyalah omong kosong. Beberapa pengusaha UMKM merasa keberata dengan kebijakan tersebut, bisa dicek di link http://peluangusaha.kontan.co.id/news/pajak-ukm-berlaku-laba-pengusaha-kecil-tegerus.
Akhirnya, opini pribadi saya sendiri, keadilan absolut itu memang tidak akan dan mustahil diperoleh dimana saja karena yang mampu adil hanya Allah SWT. Hanya saja, kami berharap pemerintah bisa membuat kebijakan yang adil dan masuk akal untuk pengusaha UMKM yang selama ini kebanyakan merasa dipersulit untuk berkembang. Bukan karena faktor pajak saja, tapi banyak faktor lainnya yang menghalangi kami untuk mengembangkan usaha.
Jangan hanya sibuk membuat kebijakan remunerasi aja dong untuk pegawai pemerintahan, tuh perhatikan sektor informal dan UMKM. Mereka lo yang terbukti mampu bertahan dalam goncangan perekonomian ketika krisis tahun 1998 dulu. Rakyat kecil juga pelaku roda perekonomian negara, jangan istimewakan kapitalis besar.
Saya berharap keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia tidak hanya tercantum dalam UUD 1945, tapi juga terlaksana dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tulisan ini sekedar opini dan tulisan orang yang ilmunya masih sangat sempit, yang nggak terima terserah, yang mendukung terserah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Polite comment and critic only