Rabu, 30 Mei 2012

Dua Puluh Tiga

“Tiup lilinnya...”

Hari ini mewakili satu hari dalam setahunmu, sekaligus hari pertama dalam seumur hidupku.

Aku tahu, sejak awal, suatu hari kau akan memiliki sebuah sejarah tersendiri dalam hidupku. Kau akan memainkan peranmu disampingku sambil mengukir satu kisah sedih, lucu, konyol, sekaligus meninggalkan jejak-jejak kebahagiaan masa kini dan nanti. 

Tuhan yang menuliskan cerita kemudian alam dan kita yang akan memainkan peran itu bersama-sama. Itulah kenapa kau selalu berkata bahwa hidup itu indah, indah karena dimensi waktu yang menyimpan satu misteri, dia hanya akan membiarkan kita menikmati kekinian. Batasan kini dan nanti hanyalah setipis kertas karena masa depan adalah saat ini.  

Kemudian kau tersenyum dengan kesederhanaanmu yang seringkali menimbulkan rindu, “Kenapa kamu disini sekarang, saat ini?”

Meski dunia ini membisu dan kau meragukan alasanku untuk berada disini, aku memiliki satu keyakinan untuk menjelaskannya pada semesta.

Seringkali, satu perpisahan adalah awalan dari satu pertemuan dan aku percaya itu. Aku kehilangan dia yang kutitipi sepertiga kesetiaanku, sepertiga perhatianku,  dan sepertiga cintaku. Perasaan kala itu layaknya kumpulan awan emosi yang tinggal menunggu jenuh untuk bisa terekspresi dalam bulir derasnya guyuran hujan. Di dalam sebuah kekecewaan aku menemukanmu, entah kenapa kau yang kucari, tapi aku tahu pasti. Jika hidup kita seperti permainan ular tangga, Aku akan berada di sebuah angka yang menurunkanku ke tempat kau berada karena kita sama-sama memiliki kekecewaan pada cerita lalu.

Entahlah, aku sendiri tak ingin menggali perasaanku lebih dalam karena hati yang terluka harus tuntas terobati dengan satu penyembuh luka, kebahagiaan. Kubiarkan kau datang dan pergi di tiap hitungan hari. Meski seringkali aku menginginkan dia kembali, kau yang dengan setia disampingku, menghibur, membesarkan hati, dan menceritakan banyak kisah ternyata mampu mengisi kekosongan di satu ruang kehidupanku. Ruangan itu telah kosong bertahun-tahun, satu persatu datang dan pergi silih berganti dengan meninggalkan lara yang menempel kekal seperti sebuah tato tak terhapus namun harus dilupa.

“Jika kau tahu alasan keberadaanmu disini, mengapa kau menginginkan eksistensi kita dalam hidupmu?”

Jika mencintai itu ibarat menaiki anak tangga, aku akan belajar mencintaimu selangkah demi selangkah, aku akan menaiki setiap fase dengan melihat kesungguhanmu, perasaanku. Tapi aku masih ragu, aku menunggu tak terburu. Aku akan menilaimu tanpa suatu penghakiman. Biarkan waktu nanti yang menceritakan dirimu dengan keterus terangannya. Kuijinkan seluruh dunia berpendapat, tapi hatiku yang akan memutuskan, karena cinta bisa merubah segala persepsi dan membutakan dari ketidakindahan.  

Aku tak pernah takut sendirian, dan kita tidak memutuskan bersama karena ketakutan kita pada kesendirian. Mencintaimu adalah refleksi dari kecintaanku pada diri sendiri karena sebenarnya seseorang hanya nyaman dengan cerminan dirinya. Cermin itu adalah hati, artinya hati kita yang akan memantulkan belahan jiwanya. 

Hatimu yang halus dan mudah mengiba tidak berarti kau bukan seseorang yang kuat. Kau membuatku tahu, aku tidak butuh seorang pria yang gagah perkasa dan kuat namun tak mau mendampingi hatiku ketika terluka, aku tidak perlu seorang pria yang tampan rupawan untuk membahagiakanku karena pria yang mampu membahagiakanku adalah yang tertampan, tidak perlu seorang pria yang bergelimang harta untuk mengenyangkan laparku dengan makan di restoran berbintang karena pria sederhana sepertimu mampu memberikan rasa syukur luar biasa dengan bercanda berdua sambil menikmati sepiring nasi di warung lalapan.

Akhirnya kau menutup prosesi tanya jawab rasa penasaranmu dengan mengucapkan doa dan harapanmu, aku menyalakan keduapuluhtiga lilin dihadapanmu, mari kita anggap ini adalah awal dari semuanya sehingga harapanku adalah aku akan disampingmu sampai kau merayakan ulang tahun terakhirmu di dunia ini.

Kemudian kau mencium keningku dan kembali bertanya

“Dimanakah letak surga itu sayang?”

“Kau tak perlu mencari surga karena kau akan merasakannya, dimanapun tempat yang tidak ingin kau berada disana itulah neraka. Surga adalah tempat dimana kita bisa menjadi diri kita sendiri, dan disampingmulah aku tak perlu berpura-pura menjadi seseorang yang lain, jadi inilah surga.”

Kau tiup ke-23 lilin dihadapan kita, kemudian satu persatu api itu padam karena hembusanmu.

Dua puluh tigamu, satu bulanmu dan aku, salamanya kita.

Kau yang begitu mudah untuk dicintai, dan begitu sulit ditemukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Polite comment and critic only