Aku tahu, sejak awal, suatu hari
kau akan memiliki sebuah sejarah tersendiri dalam hidupku. Kau akan memainkan
peranmu disampingku sambil mengukir satu kisah sedih, lucu, konyol, sekaligus
meninggalkan jejak-jejak kebahagiaan masa kini dan nanti.
Tuhan yang menuliskan cerita
kemudian alam dan kita yang akan memainkan peran itu bersama-sama. Itulah
kenapa kau selalu berkata bahwa hidup itu indah, indah karena dimensi waktu
yang menyimpan satu misteri, dia hanya akan membiarkan kita menikmati kekinian.
Batasan kini dan nanti hanyalah setipis kertas karena masa depan adalah saat
ini.
Kemudian kau tersenyum dengan
kesederhanaanmu yang seringkali menimbulkan rindu, “Kenapa kamu disini
sekarang, saat ini?”
Meski dunia ini membisu dan kau
meragukan alasanku untuk berada disini, aku memiliki satu keyakinan untuk menjelaskannya
pada semesta.
Seringkali, satu perpisahan
adalah awalan dari satu pertemuan dan aku percaya itu. Aku kehilangan dia yang
kutitipi sepertiga kesetiaanku, sepertiga perhatianku, dan sepertiga cintaku. Perasaan kala itu
layaknya kumpulan awan emosi yang tinggal menunggu jenuh untuk bisa terekspresi
dalam bulir derasnya guyuran hujan. Di dalam sebuah kekecewaan aku menemukanmu,
entah kenapa kau yang kucari, tapi aku tahu pasti. Jika hidup kita seperti
permainan ular tangga, Aku akan berada di sebuah angka yang menurunkanku ke
tempat kau berada karena kita sama-sama memiliki kekecewaan pada cerita lalu.
Entahlah, aku sendiri tak ingin
menggali perasaanku lebih dalam karena hati yang terluka harus tuntas terobati
dengan satu penyembuh luka, kebahagiaan. Kubiarkan kau datang dan pergi di tiap
hitungan hari. Meski seringkali aku menginginkan dia kembali, kau yang dengan
setia disampingku, menghibur, membesarkan hati, dan menceritakan banyak kisah
ternyata mampu mengisi kekosongan di satu ruang kehidupanku. Ruangan itu telah
kosong bertahun-tahun, satu persatu datang dan pergi silih berganti dengan
meninggalkan lara yang menempel kekal seperti sebuah tato tak terhapus namun
harus dilupa.
Jika mencintai itu ibarat menaiki
anak tangga, aku akan belajar mencintaimu selangkah demi selangkah, aku akan
menaiki setiap fase dengan melihat kesungguhanmu, perasaanku. Tapi aku masih
ragu, aku menunggu tak terburu. Aku akan menilaimu tanpa suatu penghakiman.
Biarkan waktu nanti yang menceritakan dirimu dengan keterus terangannya. Kuijinkan
seluruh dunia berpendapat, tapi hatiku yang akan memutuskan, karena cinta bisa
merubah segala persepsi dan membutakan dari ketidakindahan.
Aku tak pernah takut sendirian,
dan kita tidak memutuskan bersama karena ketakutan kita pada kesendirian. Mencintaimu
adalah refleksi dari kecintaanku pada diri sendiri karena sebenarnya seseorang
hanya nyaman dengan cerminan dirinya. Cermin itu adalah hati, artinya hati kita
yang akan memantulkan belahan jiwanya.
Hatimu yang halus dan mudah
mengiba tidak berarti kau bukan seseorang yang kuat. Kau membuatku tahu, aku tidak
butuh seorang pria yang gagah perkasa dan kuat namun tak mau mendampingi hatiku
ketika terluka, aku tidak perlu seorang pria yang tampan rupawan untuk
membahagiakanku karena pria yang mampu membahagiakanku adalah yang tertampan,
tidak perlu seorang pria yang bergelimang harta untuk mengenyangkan laparku
dengan makan di restoran berbintang karena pria sederhana sepertimu mampu
memberikan rasa syukur luar biasa dengan bercanda berdua sambil menikmati
sepiring nasi di warung lalapan.
Akhirnya kau menutup prosesi
tanya jawab rasa penasaranmu dengan mengucapkan doa dan harapanmu, aku
menyalakan keduapuluhtiga lilin dihadapanmu, mari kita anggap ini adalah awal
dari semuanya sehingga harapanku adalah aku akan disampingmu sampai kau
merayakan ulang tahun terakhirmu di dunia ini.
Kemudian kau mencium keningku dan kembali
bertanya
“Dimanakah letak surga itu
sayang?”
“Kau tak perlu mencari surga
karena kau akan merasakannya, dimanapun tempat yang tidak ingin kau berada
disana itulah neraka. Surga adalah tempat dimana kita bisa menjadi diri kita
sendiri, dan disampingmulah aku tak perlu berpura-pura menjadi seseorang yang
lain, jadi inilah surga.”
Dua puluh tigamu, satu bulanmu
dan aku, salamanya kita.
Kau yang begitu mudah untuk
dicintai, dan begitu sulit ditemukan.