Tulisan kadang menyuarakan isi
hati...termasuk tulisan saya kali ini...entah apa dan kenapa saya ingin
menuliskan tema ini, yang jelas, beberapa waktu terakhir ini saya sering
terusik dengan kehidupan dan segala gengsi yang dipangku oleh
manusia-manusianya...Terserah sih seseorang ingin hidup dan memiliki kehidupan
seperti apa, dan saya juga punya cara pandang sendiri mengenai hidup saya yang
simpel ini...asalkan jangan memaksakan cara dan perspektif mereka untuk
mengatur bagaimana saya...
...dan tema keruwetan akhir-akhir
ini adalah suara-suara “Menikah itu hanya sekali seumur hidup”
So What?
Nggak ada yang mau menikah dua
kali seumur hidup, kalo bisa semua kisah cinta itu berakhir kayak di film the
Notebook. Sehidup semati antara Ally dan Noah, sampek mati aja janjian mau mati
berdua.
Tema menikah memang sering saya perbicangkan
akhir-akhir ini karena memang insya Allah saya berencana ke arah sana...Cuma
saya heran dengan kata-kata sekali seumur hidup yang selalu dikumandangkan
setiap orang ke saya...Lalu saya berpikir, kenapa semua orang selalu takut
kehilangan momen satu kali dalam seumur hidup kemudian harus membuat moment
tersebut menjadi sangat special sehingga bisa dikenang...? Mereka takut
kehilangan esensi kenangan kah? Dan ukuran menikah yang special itu adalah
UANG. Jangan munafik pasti UANG yang akan menentukan acara menjadi istimewa.
Perspektif seperti itu sangat
tidak salah...terserah bagaimana cara memandangnya. Tapi, dalam hidup saya,
saya tidak pernah membuat satu momen menjadi satu-satunya dan harus penuh
kesan, karena memang saya tidak pernah ingin merancangnya dan membuatnya
sedemikian spesial sehingga satu waktu di masa depan saya bisa mengenangnya.
Karena kadang-kadang, kenangan indah di masa lalu itu malah bisa menyakiti masa
depan...tidak percaya? Tanyakan pada orang-orang yang berpisah dengan
pasangannya...atau ke mereka yang tidak harmonis dengan pasangannya. Jadi
kenangan itu tidaklah esensial...
Dulu waktu saya akan diwisuda S1,
semua orang, keluarga, sahabat, dan teman ribut karena saya. Saya waktu itu
nggak mau dandan selayaknya para wisudawan lainnya, yang berangkat ke salon jam
3 pagi terus rias pake tetek bengeknya dan berangkat ke kampus bawa ortu atau
keluarga satu truk. Masih lekat di ingatan saya, waktu itu saya berangkat ke
kosan sahabat saya jam 6 pagi pakai kaos, rok, dan sandal sambil bawa tas
isinya kebaya yang saya pake di mantenan saudara, rok batik, toga dan tas
ransel. Saya bermaksud dandan sendiri yang sesuai menurut selera saya disana
sebelum berangkat ke gedung. Kemudian karena acaranya masih lama, saya tiduran
dulu di kasurnya si Emil. Sementara mungkin, sahabat-sahabat saya, Mera, Paimin
dan Emil mbatin...”arek edan, sing liyane podo sik nang salon kate wisuda, arek
iki malah turu.”
|
Semuanya dandan awur-awuran, Ebes, Emak, Trimbil |
|
Bahkan si Fai dandannya lebih cantik dibandingkan Trimbil |
|
Poniku membuat rambutku kayak Helm...ahahahaha |
Kata orang, wisuda S1 cuma
sekali, pertama kali disahkan jadi sarjana. Harus dandan cantik, selayaknya
orang pada umumnya, terus nanti foto-foto biar fotonya bisa dipajang buat
kenang-kenangan. Kalo gak dandan maksimal nanti sayang gak ada yang bisa
dikenang. Inilah yang saya bilang dengan cara pandang manusia yang sering
mengeneralisasikan sesuatu karena orang lain melakukannya, sehingga kalo ada
orang gila yang bersikap tidak umum, dibilang nggak mengikuti aturan yang ada.
Saya adalah orang yang suka cara saya yang sangat simpel, yang sering dianggap
orang tidak umum dan melanggar aturan yang umum, dengan begitulah saya menjadi
beda dari yang lain...dan saya tidak peduli. Toh saya nggak berbuat yang
melanggar norma-norma dengan cara saya itu.
Kalau ada orang nanya foto resmi wisuda
saya bahkan saya sudah lupa dimana?
Biarin aja... satu foto tidak
akan bisa menceritakan kenangan penting saat wisuda seorang Astri. Tapi saya
punya kenangan yang lebih indah dari penampilan saya saat itu yang bisa saya
ceritakan ke anak cucu saya, terserah mereka percaya apa nggak...hehehe...
Kembali ke tema menikah seumur
hidup sekali...
Saya sering pusing karena pihak
keluarga punya keinginan bla bla bla...acara harus seperti ini, pakai baju ini,
diselenggarakan seperti ini, meriah, yang diundang banyak, makanannya enak,
dandannya harus bagus, fotonya harus banyak dan semuanya MENGELUARKAN
UANG...hoooh...
|
Liat atas bawah kanan kiri yang dibayangkan DUIT (nangis dalam hati) |
Bukannya saya pengen bikin acara
nikah asal-asalan dengan kesederhanaan saya...Cuma saya pengen hidup dimana
kita menyesuaikan dengan kemampuan. Kalo nggak mampu ngundang 1000 orang dan
cukup dengan 300 orang kenapa harus memaksakan ngundang 1000 orang? Kalo gak
mampu bikin acara 200 juta, kenapa harus gengsi bikin acara 10 juta? Toh apa
esensi menikah adalah mencari cinta yang halal dan menyempurnakan separuh
ibadah kita kepadaNya...
Terus
Ada temen jauh (dia juga punya WO
dan maksa saya pake WO nya, padahal saya udah pake WO sahabat saya) yang bilang :
“Loooh jangaaaaan, nikah kan cuma
sekali seumur hidup. Harus bagus dooong... (Yang mau nggak bagus itu yo siapa?)
Jangan sederhana-sederhana sekali (Emang lu mau bayarin gue?) semuanya harus
dipersiapkan dengan baik (yang mau asal-asalan juga siapa), aku dulu aja nikah
habisin 60 jt (emang gue pikirin)...”
Sumpah...suara-suara itu bikin
frustasi...
|
sampek berharap bisa kayak Quint yang hidupnya santai (gak mikir bondo rabi) |
“Pake adat jawa aja biar bagus
(gue sama fahmi orang Indonesia, jadi pake adat Indonesia). Jangan pakai baju
warna itu ndak pantes kamu (lha sakkarepku tah mau pake warna apa). Cateringnya
mesen ini aja (lu tinggal makan gak pake bayar aja ribut), aku pesen chocolate
fountain – suara hati nduty suketi (lha lapo mek nyelup jajan nang coklat bayar
4,5 juta mending gawe liburan nang Paris). Undangannya kok cuma dikit gak
ditambah biar rame (ya duitnya tambahin dong). Suvenirnya jangan murah-murah
(alah suvenir habis itu digletakno ae katene larang-larang)”
Seandainya saya bisa ngomong
seketus itu...seandainyaaaaa bisaaa....pasti saya akan ngomong sejudes itu ke
mereka... tapi saya harus menghormati setiap opini orang...
Yaaaaaaaaah itulah manusia pada
umumnya....menciptakan tatanan dan aturan...dan ketika ada yang berbeda, mereka
bergejolak...dan kemudian menjadikan yang satu-satunya sebagai sesuatu yang
harus dilakukan dengan cara “sebagaimana orang umum melakukannya”.
Saya dan fahmi sama-sama anak
pertama, dan keluarga kita karena sama-sama mantu pertama jadi harus
bagus...sempet saya mikir, kenapa gak mau bikin acara dengan baik dan layak
kemudian sisa rejeki yang ada ini bisa dipake mantu adik-adik kita...? daripada
membuang-buang uang banyak untuk acara “mantu pertama”, kasian kan yang
berikutnya...
Pernah saya menemui, sebuah
keluarga, saat itu mereka termasuk orang berada. Waktu mantu pertama, acaranya
meriiiaaaaaaaaaaah sekali, mewaaah glamor, bahkan suvenirnya dibeli di luar
negeri...kemudian ketika ayahnya pensiun dan dengan keterbatasan ekonomi saat
ini, ketika mantu anak berikutnya, acaranya sangat sangat sangat sederhana
sampe terkesan melas...wahai orang tua dan calon orang tua (termasuk saya)...berpikirlah
panjang...apalagi kalo anaknya lebih dari satu...Emang adakah yang spesial dari
mantu pertama kali dan yang pertama hanya terjadi sekali?? Nggak ada
blas...Cinta itu tidak perlu dirayakan dengan berlebihan, Cinta itu harus
dihalalkan dan dijaga sampai habis usia...
Bahkan kadang saya sangat geli
ketika memikirkan hal ini...
Anggap seandainya saya akan
mengeluarkan uang 30 juta nanti untuk semua-muanya, gedung, baju, catering,
dekorasi, suvenir, undangan, yang sekali gebyaran habis. Gedung akhirnya juga
ga dimiliki, baju dikembalikan, dekorasi dibuang, catering dimakan, undangan
dibuat cikrak sama mbah ti, suvenir digletakin...dan return yang saya dapet
adalah cinta yang halal dan seorang suami.
Mahal banget ya ongkos untuk
menghalalkan cinta?
Padahal Allah udah membuat cara
menghalalkan cinta menjadi sangat simpel...
Manusia...manusia...memang rumpik
nista....
SUMPEK...
|
Lebih baik tidur |
|
|
|
|
Cinta yang Halal pun Butuh Materi (Akeh pisan)... |