Genap setahun seorang anak
perempuan yang selalu berharap jadi bocah selamanya, aku, belajar jadi seorang
wanita. Wanita dewasa yang mengikatkan janjinya pada seorang pria bernama
Muhammad Fahmi.
Tulisan ini bukan kisahku, bukan
kisah tentang kami. Astri dan Fahmi. Tulisan ini memutar kembali kenangan tiga
orang, yang setahun lalu datang dengan bahagia di acara pernikahan kami, tapi
kini telah pergi selamanya. Bapak Mustafa, Pakde Aries, dan Nenekku, Nenek
Suryani.
Disinilah aku tahu, dunia ini hanya
tempat berjumpa, perjumpaan yang sekejap sekaligus tempat mengucapkan selamat
tinggal, untuk kembali bertemu lagi, atau selamat tinggal untuk selamanya.
17 Desember 2013, Bapak Mustafa,
seseorang yang kupanggil Bapak baru dalam hitungan bulan, meninggal karena
komplikasi setelah hampir setengah tahun berperang dengan penyakit yang
menggerogoti tubuhnya yang dulu tinggi besar. Masih teringat saat terakhir kali
Bapak bicara padaku di telpon saat sedang kritis, beliau bilang “Maafkan Bapak”
dan “Bapak minta cucu”. Belum sempat Bapak melihat cucunya lahir, Bapak sudah
berpamitan duluan pada kami semua.
Bapak - Mamah |
Sungkem Bapak |
20 Februari 2014, Pakde Aries,
pakdeku yang selalu kuanggap seperti Bapakku sendiri. Meninggal karena serangan
stroke untuk yang ketiga kalinya. Kenangan terakhir pakde adalah ketika aku
berkunjung ke rumah pakde di Surabaya pada bulan Mei 2013, dan pakde saat itu
bilang padaku dan fahmi. “Kapan-kapan kalo Pakde sekeluarga makan-makan sama
mas-masmu (mas Adit dan mas Iok), nanti kamu dijemput di kos-kosan ya”. Ibuku
selalu bilang padaku, sering-sering nyambangi Pakde Budhe di Ketintang karena
mereka sangat sayang sama kamu, seperti anak mereka sendiri.
Pakdeku yang sering ngajak jalan-jalan sewaktu aku kecil |
2 Maret 2014, Nenekku menyusul
pergi untuk selamanya karena serangan stroke. Padahal 2 minggu yang lalu, Nenek
masih sempat ngobrol di telpon dan bilang kalau nenek sehat-sehat saja. Setahun
yang lalu, di tanggal 4 Maret 2014, terakhir kali aku memegang dan mencium
tangan nenekku. Aku berpamitan hendak ke Surabaya mengikuti Fami, dan aku
berjanji sesegeranya ada kesempatan, aku ingin mengajak suamiku ke rumah nenek
di Tanah Abang untuk bertemu keluarga besar Bapak. Tapi janjiku belum lunas
sampai saat ini pada nenek, kesempatan itu belum datang juga hingga nenek pergi
kembali pada Allah.
Nenek-nenekku... |
Nenekku yang pinter masak dan bikin kue |
Kenangan paling manis dengan
nenekku adalah saat aku merantau di Jakarta dan berkunjung ke rumah nenek suatu
hari, nenek saat itu masak ayam goreng. Jumlah ayamnya cuma 4 potong, sedangkan
jumlah penghuni di rumah nenek ada banyak. Ketika hendak makan rasanya aku tak
tega, kalau kuambil 1, sisanya tinggal 3. Nanti yang lain makan apa? kutanya
Nenek. Nenek menjawab, “Udah astri makan aja nggak papa, yang lain biasanya
dimasakin nenek tapi jarang dimakan, sukanya beli di luar”. Nenekku pintar
masak, ayam gorengnya enak, seperti buatan ibuku. Saat itu kupikir, rugi sekali
mereka yang dimasakkan makanan seenak ini tapi malah beli makanan di luar dan
aku jadi ingat pada diriku sendiri yang sering mengeluh bosan pada masakan
ibuku. Padahal, ketika kita jauh dari rumah, tidak ada yang bisa menggantikan
rasa rindu pada makanan buatan Ibuk. Orang yang paling kusayang.
Itulah hidup, kadang hidup
memberiku begitu banyak, tapi suatu saat hidup mengambil dariku begitu banyak.
Sampai disaat kita kehilangan, baru kita merasakan penyesalan. Menyesal kenapa
tidak segera memaafkan, menyesal kenapa jarang memperhatikan, menyesal karena
tidak mau mendengarkan, menyesal karena pernah melukai, menyesal karena
berjanji dan belum menepati atau sejuta penyesalan lainnya. Sayangnya, menyesal
selalu di saat yang sudah begitu terlambat...
Malam ini, di tengah sakit
punggung dan tidur yang semakin tidak nyaman, penyesalan itu tiba mendadak
mampir di dalam perasaanku. Penyesalan yang di masa lalu tidak begitu digubris,
tapi di hari ini begitu menyayat-nyayat hati. Mungkin karena setahun lalu di
tanggal yang sama, hanya ada perasaan bahagia dan rasanya semua berlalu begitu
saja karena hari ini aku merasakan kehilangan yang menyakitkan. Kadang aku
berharap pada kebersamaan yang abadi, tapi di sisi lain aku tahu, Allah-lah
satu-satunya keabadian. Kami hanya numpang bertemu karena perjodohan dan
takdir, kemudian juga berpisah karena habis perjodohan dan takdir.
Sisa kenangan melankolisku
bersama mereka mungkin tidak bisa terulang. Tapi aku percaya, rasa sayang yang
luar biasa yang akan mendekatkan hubungan batin. Entah kau berada di langit
lapis kesekian, cinta bisa memancarkan radiasinya tanpa batasan dimana
kehidupanmu dan mereka berada.
Ya mungkin besok pagi aku bangun
dengan mata yang bengkak dan seisi rumah bertanya kenapa kok bendol matanya?
Biar saja
Kubiarkan seisi dunia ini tahu,
malam ini ada kejujuran tentang sebuah penyesalan, ada air mata karena
kehilangan, dan ada rasa sayang yang belum sempat disampaikan...
Selamat jalan Bapak, Pakde,
Nenek...maafkan Astri...
Astri sayang Bapak, Pakde, dan Nenek...sayang
sekali.
Rasa cinta itu terasa menyakitkan
ketika kita belum sempat mengungkapkannya...