Senin, 03 Maret 2014

3 Maret 2013 – 3 Maret 2014, dan ketiganya telah pergi...



Genap setahun seorang anak perempuan yang selalu berharap jadi bocah selamanya, aku, belajar jadi seorang wanita. Wanita dewasa yang mengikatkan janjinya pada seorang pria bernama Muhammad Fahmi.

Tulisan ini bukan kisahku, bukan kisah tentang kami. Astri dan Fahmi. Tulisan ini memutar kembali kenangan tiga orang, yang setahun lalu datang dengan bahagia di acara pernikahan kami, tapi kini telah pergi selamanya. Bapak Mustafa, Pakde Aries, dan Nenekku, Nenek Suryani. 

Disinilah aku tahu, dunia ini hanya tempat berjumpa, perjumpaan yang sekejap sekaligus tempat mengucapkan selamat tinggal, untuk kembali bertemu lagi, atau selamat tinggal untuk selamanya.

17 Desember 2013, Bapak Mustafa, seseorang yang kupanggil Bapak baru dalam hitungan bulan, meninggal karena komplikasi setelah hampir setengah tahun berperang dengan penyakit yang menggerogoti tubuhnya yang dulu tinggi besar. Masih teringat saat terakhir kali Bapak bicara padaku di telpon saat sedang kritis, beliau bilang “Maafkan Bapak” dan “Bapak minta cucu”. Belum sempat Bapak melihat cucunya lahir, Bapak sudah berpamitan duluan pada kami semua. 

Bapak - Mamah


Sungkem Bapak
20 Februari 2014, Pakde Aries, pakdeku yang selalu kuanggap seperti Bapakku sendiri. Meninggal karena serangan stroke untuk yang ketiga kalinya. Kenangan terakhir pakde adalah ketika aku berkunjung ke rumah pakde di Surabaya pada bulan Mei 2013, dan pakde saat itu bilang padaku dan fahmi. “Kapan-kapan kalo Pakde sekeluarga makan-makan sama mas-masmu (mas Adit dan mas Iok), nanti kamu dijemput di kos-kosan ya”. Ibuku selalu bilang padaku, sering-sering nyambangi Pakde Budhe di Ketintang karena mereka sangat sayang sama kamu, seperti anak mereka sendiri.

Pakdeku yang sering ngajak jalan-jalan sewaktu aku kecil
2 Maret 2014, Nenekku menyusul pergi untuk selamanya karena serangan stroke. Padahal 2 minggu yang lalu, Nenek masih sempat ngobrol di telpon dan bilang kalau nenek sehat-sehat saja. Setahun yang lalu, di tanggal 4 Maret 2014, terakhir kali aku memegang dan mencium tangan nenekku. Aku berpamitan hendak ke Surabaya mengikuti Fami, dan aku berjanji sesegeranya ada kesempatan, aku ingin mengajak suamiku ke rumah nenek di Tanah Abang untuk bertemu keluarga besar Bapak. Tapi janjiku belum lunas sampai saat ini pada nenek, kesempatan itu belum datang juga hingga nenek pergi kembali pada Allah.

Nenek-nenekku...

Nenekku yang pinter masak dan bikin kue

Kenangan paling manis dengan nenekku adalah saat aku merantau di Jakarta dan berkunjung ke rumah nenek suatu hari, nenek saat itu masak ayam goreng. Jumlah ayamnya cuma 4 potong, sedangkan jumlah penghuni di rumah nenek ada banyak. Ketika hendak makan rasanya aku tak tega, kalau kuambil 1, sisanya tinggal 3. Nanti yang lain makan apa? kutanya Nenek. Nenek menjawab, “Udah astri makan aja nggak papa, yang lain biasanya dimasakin nenek tapi jarang dimakan, sukanya beli di luar”. Nenekku pintar masak, ayam gorengnya enak, seperti buatan ibuku. Saat itu kupikir, rugi sekali mereka yang dimasakkan makanan seenak ini tapi malah beli makanan di luar dan aku jadi ingat pada diriku sendiri yang sering mengeluh bosan pada masakan ibuku. Padahal, ketika kita jauh dari rumah, tidak ada yang bisa menggantikan rasa rindu pada makanan buatan Ibuk. Orang yang paling kusayang.

Itulah hidup, kadang hidup memberiku begitu banyak, tapi suatu saat hidup mengambil dariku begitu banyak. Sampai disaat kita kehilangan, baru kita merasakan penyesalan. Menyesal kenapa tidak segera memaafkan, menyesal kenapa jarang memperhatikan, menyesal karena tidak mau mendengarkan, menyesal karena pernah melukai, menyesal karena berjanji dan belum menepati atau sejuta penyesalan lainnya. Sayangnya, menyesal selalu di saat yang sudah begitu terlambat...

Malam ini, di tengah sakit punggung dan tidur yang semakin tidak nyaman, penyesalan itu tiba mendadak mampir di dalam perasaanku. Penyesalan yang di masa lalu tidak begitu digubris, tapi di hari ini begitu menyayat-nyayat hati. Mungkin karena setahun lalu di tanggal yang sama, hanya ada perasaan bahagia dan rasanya semua berlalu begitu saja karena hari ini aku merasakan kehilangan yang menyakitkan. Kadang aku berharap pada kebersamaan yang abadi, tapi di sisi lain aku tahu, Allah-lah satu-satunya keabadian. Kami hanya numpang bertemu karena perjodohan dan takdir, kemudian juga berpisah karena habis perjodohan dan takdir.

Sisa kenangan melankolisku bersama mereka mungkin tidak bisa terulang. Tapi aku percaya, rasa sayang yang luar biasa yang akan mendekatkan hubungan batin. Entah kau berada di langit lapis kesekian, cinta bisa memancarkan radiasinya tanpa batasan dimana kehidupanmu dan mereka berada. 

Ya mungkin besok pagi aku bangun dengan mata yang bengkak dan seisi rumah bertanya kenapa kok bendol matanya? 

Biar saja

Kubiarkan seisi dunia ini tahu, malam ini ada kejujuran tentang sebuah penyesalan, ada air mata karena kehilangan, dan ada rasa sayang yang belum sempat disampaikan...

Selamat jalan Bapak, Pakde, Nenek...maafkan Astri...

Astri sayang Bapak, Pakde, dan Nenek...sayang sekali. 

Rasa cinta itu terasa menyakitkan ketika kita belum sempat mengungkapkannya...