Kamis, 25 April 2013

Memaknai Kebahagiaan dan Kesuksesan


Memaknai Kebahagiaan dan Kesuksesan

"Dunia itu adalah neraka bagi orang beriman, dan surga bagi orang kafir"
(Rasulullah SAW)
Sejak menikah, aku (sekarang ganti kata gantinya “aku” ya biar gak terkesan formal banget gitu? Hehe...) mengalami apa yang disebut post-power syndrome, menurutku sih. Sebelum menikah aku mengelola bisnis, ketemu customer, nyari karyawan, promosi, pergi kesana kesini, masuk komunitas dan sebagainya. Sejak pindah ke Surabaya, pekerjaan utama adalah menjadi istri. Buat orang yang biasa bekerja lari sana sini dan bebas mau tidur kapanpun aku mau, hahaha... segala sesuatu yang lekat dengan AFEX masih menjadi dilemma tersendiri di saat ini. 

Bisnis ini ibarat jati diri, AFEX adalah status sosial bagiku, bahkan lebih dari sekedar bisnis. Kenapa? Aku butuh pengakuan, aku butuh berkarya karena aku bukan karyawan perusahaan A, B, C. Tidak bekerja di perusahaan tertentu, dalam kacamata masyarakat umum, aku ini adalah pengangguran. Oleh sebab itu, aku butuh AFEX sebagai jati diri atau identitasku. 

Setahun aku mengelola bisnis ini, dengan pasang surutnya. Menurutku, sebagai pengusaha pemula, aku cukup berhasil di tahun pertama bisa mencetak omset delapan digit mendekati sembilan digit dalam setahunnya. Sombong banget ya? Hemm bukan maksud itu aku menuliskan hal ini. Dari sembilan digit menjadi satu digit dimana angka itu adalah nol, pasti, tidak hanya aku-siapapun aja, pasti merasakan kemerosotan dalam hidupku. Akhirnya aku, beberapa saat terakhir mengalami kekeringan batin, sebuah perasaan tidak puas dan tidak bahagia yang aku sendiri tidak tahu mengapa.

“Kejayaan masa laluku, yang lekat dengan pencapaian materi itu, malah menjadi pembatas keberanianku untuk memulai dan mencari masa depan dari titik nol”

Maklumilah sudut pandangku, di dunia ini, tidak ada satu orangpun yang mau jatuh. Dari posisi sukses bergelimang harta, jadi fakir miskin. Dari posisi seorang Direktur Utama perusahaan, jadi Staf lagi. Tidak ada orang yang suka memulai, karena bagian awal itu biasanya bagian paling sulit. Termasuk aku, pencapaian masa lalu itu ibarat momok, mimpi buruk di masa kini orang sepertiku. Dari hidup yang serba dinamis, sekarang harus “start from the scratch”.

Saat ini, aku mencari makna, berhari-hari aku mencari makna itu. Tentang kesuksesan, tentang kebahagiaan.
Kenapa keberhasilan di masa lalu justru menjadi belenggu saat ini? Apakah pencapaian materi itu membuatku bahagia? Sukses itu seperti apa sih sebenarnya? Apa seperti sahabat-sahabatku yang mencari rejeki di tengah hutan beton ibukota? Atau seperti sahabat kesayanganku yang selalu merasa bahagia karena kecukupan rejekinya? Bahagia itu seperti apa sih? Kenapa meski aku berkecukupan aku nggak bahagia sekarang?

Masyarakat, memiliki standar umum (entahlah apakah ini stereotip), bahwa kesuksesan itu erat hubungannya dengan uang/aset/materi/karir/gaya hidup. Tidak munafiklah, orang berlomba-lomba pengen sukses, pengen kaya, pengen apa sih mereka? Mobil mewah kan? Rumah mewah kan? Kebebasan finansial kan? Jalan-jalan keluar negeri kan? Pasti jawaban akan didominasi dengan kata YA. Secara umum, masyarakat mengartikan kesuksesan itu kalau kita punya uang dan bahagia, serta kita memiliki posisi tertentu dalam sebuah status sosial. (Bahkan aku tidak mau naif, hasrat terhadap hal-hal itu masih ada dalam hatiku)

Lihatlah seminar-seminar yang digelar dimana-mana dengan pembicara para orang sukses dan pengusaha, orang-orang berduyun-duyun datang dengan motivasi apa? Karena mereka pengen meniru ke-SUKSES-an dan KAYA. Kaya seperti pembicara seminar itu. Punya perusahaan, punya kemewahan duniawi, punya kemapanan, kebebasan waktu, uang, aset dan semua hal yang bersifat material. Kenapa aku tahu? Karena aku sering jadi peserta seminar, dan motivasiku sama seperti mereka, pengen SUKSES, pengen KAYA, pengen HARTA, pengen jadi PENGUSAHA.

Kata orang-orang, kita harus kaya, biar bisa menolong orang lain. Bener, itu jawaban bener sekali. Allah pun nyuruh kita menjemput rejeki bukan menunggu rejeki dari-Nya, menyuruh kita jadi orang kaya agar bisa bermanfaat buat sesama. Aku menulis tulisan ini bukan karena aku tidak ingin/anti jadi sukses dan kaya, bukan, aku ingin menggali makna dari kesuksesan dan kebahagiaan itu, dari kacamataku sendiri dan beberapa sumber lain.

“Aku melihat seorang anak, dia selalu merengek minta barang-barang mewah, branded pada orang tuanya. Orang tuanya termasuk berlebih rejekinya, hanya saja mereka hendak pensiun. Si anak ini sejak kecil tidak pernah kekurangan, rumah punya, kamar yang nyaman, mobil untuk ditunggangi sendiri, ponsel, komputer, bahkan dari mataku aku kagum betapa beruntungnya jadi dia” 

(ternyata kaya dan tidak pernah kekurangan malah membuat hati si anak tidak pernah berkecukupan, punya rumah minta istana, punya mobil minta pesawat. Setelah ditarik suatu kesimpulan dari fakta-fakta yang ada, ternyata dia bersekolah di sekolah swasta yang notabene berisi anak-anak orang kaya yang gaya hidupnya high class)

“Aku punya seorang teman baik, sekarang dia bekerja di ibukota. Arogan mungkin sudah menjadi bawaan dia sejak dulu, hanya saja kadarnya belum tinggi. Sejak dia bekerja jauh kemudian kita berkomunikasi lagi akhir-akhir ini, aku merasa tidak mengenal dia lagi. Dia kehilangan selera humornya, jadi sok kebarat-baratan, suka pamer, yah anggap saja bibit arogansi + kehidupan ala ibukota + uang = kekeringan batin. Kasian sekali pikirku, orang yang berkecukupan rejeki seharusnya memiliki kelebihan kegembiraan untuk dibagikan pada orang lain, meski kegembiraan itu hanya berupa humor bukan uang.”

(Hidup berubah, manusia berubah. Ada yang tetap rendah hati, ada yang makin arogan karena merasa lebih sukses dari yang lain. Budeku bilang, “manusia kemana-mana nggembol (bawa) tahi, maka jadi manusia itu gak berhak sombong”)

Akhirnya, untuk menemukan kembali makna itu dari sudut pandang orang lain, aku bertanya ke seorang sahabat baikku semalam, via BBM. Tentang bagaimana dia memaknai kesuksesan dan kebahagiaan itu :

“Bagiku, kesuksesan itu soal nilai. Nah disinilah standar orang bisa beda-beda. Ada yang beranggapan hidupnya bernilai karena memiliki banyak uang/banyak aset/banyak kerjaan/banyak istri mungkin. Kesuksesan juga bisa jadi stereotip karena memang masyarakat itu cenderung menyepakati nilai-nilai yang berlaku umum. Dan kamu tahu toh apa yang dipandang masyarakat kebanyakan? Jadi gak usah kaget ketika menemui kondisi seperti teman-teman kita sekarang (arogan : maksud dia)

Kalo aku, kesuksesan itu ketika dalam hidup kamu bisa menemukan “makna” dalam artian “kamu hidup dengan hati”. Bagaimana kamu membagi hidupmu dengan orang lain tanpa embel-embel atau motif apapun, hanya karena satu kesadaran : manusia memang butuh berbagi dan saling peduli. 

Itulah kenapa dari sejak kuliah aku belajar gimana berkomunitas dan terlibat aktivitas-aktivitas sosial. Kita mau cari apa sih dalam hidup? Seberapa banyak yang kita butuhkan? Bagiku, orang-orang yang pintar menyikapi hidup itu justru mereka yang bisa membatasi hasrat-hasrat individualnya, agar tidak jadi serakah, tidak sibuk dan tidak lupa bahwa di luar hidup kita sendiri ada hidup orang-orang yang membutuhkan empati kita.

Setiap orang mungkin bisa jadi kaya, tapi hanya sedikit yang beruntung untuk memahami hidup yang bermakna.”

Menilik juga dari sebuah tulisan yang menggugah hatiku, yang kubaca tadi pagi. Titik Nol – Agustinus Wibowo (halaman 158-159)

“Aku teringat akan sebuah puisi kuno Sansekerta yang bunyinya kira-kira begini :
Dari sekian banyak ternakmu, kau hanya butuh dua gelas susu
Dari sedemikian luas tanahmu, hanya segenggam gandum
Dari sebegitu besar rumahmu, hanya separuh kasur
Wahai manusia, apalagi yang masih kautuntut?

Kita yang hidup di alam modern sering kali berbangga dengan pencapaian, dengan gedung-gedung tinggi, rumah mewah, kekayaan, nilai-nilai sempurna, kekuasaan, nama besar. Kita anggap orang-orang yang melepaskan semuanya untuk menggelandang sebagai gila atau kurang waras. Mungkin, justru kitalah yang gila. Kita percaya bahwa semua yang kita cari itu akan membawa kebahagiaan. Kita terobsesi, kita menderita, dibelenggu keserakahan yang tak habis-habis, tapi tidak ketemu juga kebahagiaan sejati. Barang yang sama, yang hari ini membawa bahagia, mungkin besok malah membawa nestapa. Dan bukankah hampir semua derita di dunia berawal dari nafsu serakah? Semakin kita terikat pada harta, semakin pula kita merasa terlalu miskin bahkan untuk membeli kemerdekaan kita sendiri. Semakin kita terjerat, terpenjara. Orang kaya itu bukan yang memiliki banyak harta. Orang kaya itu adalah mereka yang berpuas, terbebas dari belenggu keduniawi”

Sahabatku dan Agustinus Wibowa memiliki benang merah dalam hal memaknai kesuksesan, kebahagiaan : orang kaya itu dinilai bukan dari berapa digit harta yang dimilikinya, namun mereka adalah orang-orang yang bisa membatasi nafsu duniawi.
 

Kemudian aku tahu apa yang membuatku tidak bahagia saat ini. Aku terbelenggu dan melekatkan diri pada pencapaian-pencapaian masa laluku bersama AFEX, sehingga di saat ini ketika aku tidak memilikinya, aku merasa sedih, tidak berguna, tidak percaya diri dan bukan siapa-siapa. Kedua, pencapaian bisnis dalam setahun yang mencapai angka 9 digit lah yang membuatku tidak berkecukupan hati atas semua materi yang kumiliki sekarang. Aku merasa aku bisa memperoleh lebih banyak materi jika aku sekarang masih mengelola AFEX (tamak deh aku...) dan melupakan satu esensi penting dalam hidupku :

Ketika aku sudah menikah, aku harus menciptakan nilai-nilai kebahagiaan dan kesuksesan yang sejalan dengan apa yang diinginkan oleh Fahmi. Jika nilai dari kacamataku tidak sama dengan dia, maka kami pada akhirnya akan berjalan seperti besi-besi rel kereta api. Sejajar tapi nggak akan pernah nyambung.Kesuksesan dan kebahagiaan itu harusnya kami rasakan bersama-sama, sekarang, nanti dan seterusnya.

Akhir kata, aku ingin suatu hari nanti bisa melepaskan semua hal yang melekat dalam diriku. Entahlah apakah itu status sosial, materi, atau pencapaian-pencapaian lainnya dalam hidupku. Aku tidak akan bekerja untuk uang. Jikalau aku berbisnis, aku tidak berbisnis untuk mencari uang. Aku akan terus mencari makna dalam setiap fase kehidupanku, agar suatu hari aku bisa menemukan satu hal yang tak tersentuh tapi bisa aku rasakan : kebahagiaan. 

Dan kebahagiaan yang saat ini kurasakan harusnya sangat sederhana,
bisa melakukan apa yang aku sukai (masak) dan bisa bersama orang-orang yang kucintai.

“Ibukota itu memang surga, tapi nirwana para kapitalis materialis lama-lama membuatku lelah, bosan, dan muak. Akhirnya aku tetap mengasihani diri sendiri, karena ritual hidup haus materi tidak membuat hatiku berkecukupan” (Astri – Malang, 25 April 2013)



Kamis, 11 April 2013

Dua Cinta Dua Dunia


Dua Cinta, Dua Dunia


Memang benar kata orang-orang...sulit untuk memilih satu dari dua hal yang dicintai, tapi jika tidak memilih maka kita akan kehilangan keduanya...

(Yang baca tulisan ini jangan salah paham ya, saya nggak sedang jatuh cinta sama orang lain #nasibsudahnikah (-_-)a.....)

Status saya saat ini masih sebagai pemilik sekaligus direktur A Food Experience (kapan aku berstatus tunggal “owner” thok??) dan juga bekerja di PT. Muhammad Fahmi dengan posisi general manager...hahaha...

Beberapa minggu ini saya melihat perkembangan kehidupan saya di dua dunia ini sepertinya kemajuan di satu tempat mengindikasikan sedikit kemunduran di tempat lainnya. AFEX tanpa keberadaan saya ibarat tubuh tanpa kaki, tidak bisa bergerak dengan lincah seperti dulu. Konsekuensi saat ini adalah saya harus fokus pada dua hal yang berjauhan, yang tidak bisa saya pilih salah satunya, yang tidak mau jika saya harus kehilangan keduanya.



Ini namanya serakah. 

Hahaha...

AFEX adalah tempat saya mengaktualisasikan diri, berusaha meraih cita-cita dan impian saya, yang sayangnya berlokasi di Malang, kota yang kurang greget lapangan kerjanya. Sedangkan saya ingin suami saya juga bisa meraih cita-cita dan impiannya, berkarir di sebuah korporasi besar. Semua itu bukan untuk uang, namun sebagai upaya kami meraih impian-impian yang lebih besar, upaya kami untuk berkontribusi lebih banyak pada sang kehidupan.
Pilih ini atau

si bocah ini


Sedangkan,

Without Fami I think I would die #lebay, hahaha... Jelaslah keluarga adalah prioritas utama, terus untuk apa berkarya dan bekerja kalo bukan buat keluarga. Buat apa saya memiliki cita-cita kalau di dalam cita-cita itu tidak ada tujuan membuat Fami bahagia dunia akhirat lahir batin. Untuk apa saya membangun AFEX kalau hasilnya saya nikmati sendiri tanpa ada keluarga, tanpa Fami, Orang tua saya dan keluarga saya lainnya serta sahabat terbaik saya...
Disisi lain
Saya tidak ingin menukar waktu dan kebersamaan dengan satuan uang. Pokoke  
Say No To Long 
Distance Marriage...

Nah Lo...terus piye karepe??

Intine karepe adalah sama-sama Fami, sama-sama AFEX

Apa mau niru Om Bob Sadino sama istrinya aja? Memutuskan untuk nggak bekerja dan membangun usaha bersama-sama #pilihangila. Hanya orang goblok yang akan mengambil langkah itu, dan sayangnya, seringkali orang goblok lebih sukses dari orang pinter karena BERANI mengambil langkah GILA.

Mindah AFEX di Surabaya mungkin bukan hal mustahil, tapi realistis ajalah untuk saat ini, ide itu adalah ide yang kurang masuk akal. Saya sendiri tidak mau mempertaruhkan apa-apa dalam pilihan ini. Tetep bersikukuh memilih keduanya.

Dan

Sampai saat ini saya belum menemukan caranya. Manyatukan dua cinta dalam satu dunia.

Atau

Pada akhirnya saya harus menciptakan dunia itu sendiri? Dunia dimana tidak ada dualisme cinta yang sama-sama membutuhkan keberadaan seorang saya.

Ngelu.com

Berarti saya belum jadi orang goblok. Soalnya kebanyakan mikir. Hahaha...
Berharap saya segera menjadi goblok 

dan seberani Om Bob Sadino dalam membuat pilihan hidup.

-Trimbil-

Kamis, 04 April 2013

Belajar dari Prof. Yohanes Surya

Belajar dari Prof. Yohanes Surya


Bagai ilmu padi, makin berisi makin merunduk...

Mungkin kesan itu yang pertama muncul ketika pertama kali saya melihat Prof Yohanes Surya di TV malam ini. Orang sehebat dan sepintar itu, memiliki misi hidup yang mulia, membangun bangsa dengan meningkatkan kualitas pendidikan untuk anak-anak yang memiliki bakat dan kepandaian di atas rata-rata.



(Tadi saya pas lihat bagian dimana ada 3 anak dari papua yang bikin robot pendeteksi tsunami dengan menggunakan burung, jadi ceritanya burung itu punya indera yang sensitif bisa merasakan dan mendeteksi kalau akan terjadi tsunami, kemudian si burung itu akan berisik sehingga nanti alarm waspada tsunaminya nyala. Nah, aku aja yang umur segini gak pernah bisa mikir sejauh itu buat bikin sesuatu yang bisa bermanfaat buat bangsa ini suatu hari...hiks...)

Prof. Yohanes Surya ini juga punya sekolah namanya Surya Institute, dimana dia mengumpulkan anak-anak berbakat itu untuk dibimbing, disupport full dan diberi pendidikan yang berkualitas. Mungkin Pak Yohanes Surya berharap, anak-anak inilah yang nantinya akan memajukan bangsa dengan ilmunya. Daripada mereka nanti, suatu hari, setelah jadi pemuda pemudi bangsa yang hebat, lari ke luar negeri dan ilmunya dipake bangsa lain untuk memajukan negara lain? Nah lo...

Pak Yohanes Surya sendiri adalah seorang ahli fisika yang menjadi coach dari Indonesian Physics Team for the Olympiad (TOFI) sejak tahun 1993. Berasal dari keluarga yang sederhana, orang tuanya dulu nggak mampu untuk menyekolahkan dia di universitas. Namun, akhirnya atas support dari saudara-saudaranya dia berhasil masuk Universitas Indonesia jurusan Matematika dan Natural Science (bahasa Indonesiane opo? Ilmu Pengetahuan kah?). Kejeniusannya berhasil membawa dia bersekolah di College of William and Mary, Virginia, USA hingga mendapatkan gelar doktor.(Hebat...)

Orang pintar dan rendah hati

Mungkin saja, orang sepandai beliau, bisa mendapatkan karir yang luar biasa di luar negeri. Bahkan, USA hendak memberinya Green Card namun dia ingin kembali dan mengembangkan ilmu fisikanya di Indonesia...Betapa hebatnya Prof. Yohanes Surya...

(Saya berpikir, pastilah USA mau ngasih orang sepinter beliau green card, pasti mereka juga berharap benefit dari orang sepandai beliau untuk berkontribusi di negaranya...)

Yah, kadangkala menjadi dilemma juga kondisi bangsa ini. Banyak orang pinter di Indonesia lari ke luar negeri karena ilmunya disini kurang dimanfaatkan maksimal untuk memajukan negara, seperti Pak Habibie yang awalnya nggak disupport waktu mau bikin industri pesawat terbang. Mungkin masalah modal, mungkin juga masalah politis? Saya gak begitu paham...hahaha...

Yang jelas, orang sukses itu adalah orang yang bermanfaat bagi orang lain...Orang seperti Yohanes Surya adalah aset bangsa ini. Nah, yang perlu dipupuk saat ini bukan hanya kepandaian aja, tapi juga mentalitas generasi muda. Banyak di negeri ini pemuda pemudi pandai yang akan berpotensi menjadi aset bangsa. Pinter, lulusan luar negeri pula (sekolahnya juga dapet beasiswa). Cuma waktu kembali, seringkali di benak mereka (pengalaman beberapa temen) adalah : “aku sekolah di luar susah-susah begitu kembali disini ilmu dan kerjaku hanya dihargai sedikit”

Ketika kita bicara tentang uang, nilai uang nggak akan ada cukupnya untuk menukar ilmu yang kita berikan. Tapi mungkin orang-orang yang memiliki jiwa dan hati yang besar akan berpikir lain, dia berpikir bagaimana ilmu itu bisa dibagi dan bermanfaat untuk orang lain, dan tidak mudah untuk memiliki jiwa dan hati yang besar untuk menaklukkan hasrat akan materi demi misi mulia dalam hidup (mangkannya aku salut banget sama program Indonesia Mengajar).

Akhirnya, dari Pak Yohanes Surya lah, saya belajar, sekaligus bersyukur. 

Bersyukur karena saya tidak jenius sehingga tidak menghadapi dilemma antara uang dan pengabdian pada bangsa. hahahaha.... Sehingga sejak memulai usaha bersama A Food Experience ini, cita-cita saya sangat sederhana : saya ingin membantu orang lain memperoleh rejeki Allah dari bisnis saya. Indonesia kaya akan penduduk dan pengangguran, saya ingin memberikan lapangan kerja untuk orang lain. Mungkin kontribusi saya tidak besar dan hebat untuk negara ini karena saya juga bukan orang yang hebat dan pandai, tapi lebih baik berusaha untuk berkontribusi daripada lari dan tinggal di luar negeri untuk membangun negara orang...

Pamanku, Teguh Triono...Peneliti yang kembali ke Indonesia untuk mengabdi



Semoga cita-cita ini istiqomah...semoga saya keluar negeri suatu hari cuma buat jalan-jalan atau menuntut ilmu, tapi saya akan kembali...Indonesia is my home, and there is no place like home...
Indonesia tanah air beta, pusaka abadi nan jaya...

(Semoga generasi muda yang di luar sana, yang hati dan jiwanya besar akan kembali ke tanah air untuk mengabdi. Semoga negara ini suatu hari mendapatkan sumbangsih ilmu dan keringat mereka agar negara ini bisa jadi lebih baik)

Semoga aku juga bisa bermanfaat meski sedikit buat negeri ini

salam semangat membangun negeri

trimbil


Rabu, 03 April 2013

Pantai Kenjeran dan Kebahagiaan Tak Terdefinisi



Tanggal 29-31 Maret 2013 mungkin adalah saat yang dinanti kebanyakan orang, long weekend menanti, planning liburan pun dieksekusi...bagi yang liburan. Ada yang keluar kota atau keluar negeri untuk menghabiskan tiga tanggal tersebut bersama orang-orang yang dicintai, sahabat, atau menikmati ‘me time’...yah apapun rencananya, rencana saya dan fami adalah tidak membuat rencana apapun...
 
Buka Peta dulu Bang
 
Makan di Kebeb Pak Slatem



 
Mbely Makan Kepala Bebek
Pagi hingga siang kami hanya nonton DVD film-film gak jelas yang akhirnya nggak ditonton sampai habis. Kemudian sebelum jumatan, karena kami suntuk, akhirnya muncul ide untuk jalan-jalan ke tempat yang belum pernah dikunjungi di Surabaya. Berhubung kota ini sangat metropolitan...tempat jalan-jalan kebanyakan adalah mall, mall dan mall...Bosan juga sih keluar masuk mall yang isinya begitu-begitu aja...kita pengen nyari sebuah petualangan...akhirnya diputuskan untuk pergi ke pantai Kenjeran...jeng jeng...

 
Iki Klenteng kah???
 
Ini nih pintu masuknya





Mungkin Fahmi yang terbiasa dengan pantai di Balikpapan yang indah bakalan kaget kalau sudah melihat the real Kenjeran...yap benar, akhirnya sampai di TKP dia kaget beneran...takjub...karena pantainya kotor...hahaha...bukan suasana pantai seperti yang dia bayangkan sepertinya...Disana, kita jalan-jalan muter daerah pantai dimana banyak penjual ikan asin, asesoris, makanan dan lain-lainnya...nggak beli sih hehehe...Kemudian kita nyobain semua mainan anak-anak sambil foto-foto...

Mainan ayunan di dorong Fami

Di pantai Kenjeran, ada persewaan sepeda mirip becak yang bisa dikendarai 2-3 orang yang digenjot sendiri. Tarifnya per 30 menit adalah Rp 10.000, akhirnya saya merengek supaya Fami mau mainan becak itu keliling wilayah rekreasi Kenjeran...haha...genjot baaang...serulah...sebuah kesenangan yang sederhana tapi berkesan...
Setelah selesai mainan sepeda becak itu, kami duduk-duduk di pinggir sambil memandangi sampah, ikan gak jelas di pasir (pantainya pas surut) dan burung-burung yang terbang diatas pantai itu (kayaknya burung camar ya?). Disitulah baru terasa angin laut yang sepoi-sepoi menerpa kita yang kepanasan meski duduk di tempat yang lumayan teduh...
Fami ngelirik sapa seeeh??? Ckckckck

Saya merasa seneeeng sekali saat itu, entah rasa seneng yang nggak bisa didefinisikan...rasa seneng saat itu ibarat menghirup udara kemerdekaan...akhirnya saya bisa berpetualang bersama orang yang memiliki impian dan jiwa yang sama dengan saya...kedua, rasa bahagia itu karena rasa syukur kami pada hal-hal sederhana...Pantai Kenjeran mungkin tempat wisata sederhana, wisata rakyat...tapi disitulah saya merasakan rasa bahagia luar biasa...terutama karena ada seseorang istimewa di samping saya yang mengajarkan pelajaran kehidupan setiap harinya...

Kami memang mungkin saat ini belum memiliki kemampuan dan kemapanan untuk melihat banyak hal di dunia ini, di bumi yang begitu luas ini. Namun, disitulah saya merasakan : 

bukan tempat yang istimewa yang membuat satu kenangan menjadi spesial...tapi dengan siapa kita berbagi rasa bahagia itu, 
dan bagaimana kita memandang kebahagiaan sebagai sebuah rasa syukur...
itulah yang dinamakan kenangan spesial...

Di tempat inilah kami bermimpi akan memulai petualangan melihat seperempat dunia berdua...

Salam Sayang

Mbely & Fami